Sabtu, 18 Januari 2020

Sewu Dino ( 1000 Hari )


Kasir4D Malam ini, gw akan menyajikan sebuah peristiwa kelam, atau bisa di bilang pengalaman mengerikan dari seseorang yg berhasil gw ulik, sebegitu kelamnya cerita ini, sampai gw janji gak akan membocorkan lokasi dan semua yg berhubungan dengan cerita ini.

untuk itu, gw mohon kerjasamanya, dan selebihnya, terimakasih sudah meluangkan waktunya.

gw ingin menyampaikan cerita ini dengan tempo pelan, sehingga gw bisa menggambarkan pengalaman dari peristiwa ini, sedetail mungkin, dan untuk itu, mari kita mulai ceritanya.
-2001-

"yakin, awakmu budal gok ibu kota, kok gak nggolek gok kene ae, idekkan, bekne onok sing butuh" (kamu yakin mau pergi ke ibu kota, kenapa gak nyari sekitaran sini, yg deket aja dulu, kali aja tenaga kamu di butuhkan)

sara terdiam, butuh waktu untuk menuruti kalimat bapak
"kerjo opo pak nang kene, wong sara ae mek lulusan SD" (kerja apaan pak disini, lha saya itu cuma lulusan SD) kata sara sembari menghela nafas.

"trus nek awakmu budal, bapak yo'opo to, sopo sing ngerawat ndok" (kalau kamu berangkat, nasib bapak gimana, siapa yg nanti merawat nak)

"nggih pak, sara ngerti, tapi nek sara gak budal, yo opo, ben sara isok ngekek'i bapak duit" (iya pak, sara paham, tapi kalau sara tidak cari kerja, bagaimana saya ngasih duit)

sore itu, matahari mulai terbenam, sebelum, seseorang, mengetuk pintu gubuk rumah sara.

Rupannya, itu adalah bu Menik, tetangga yg paling mampu di kampung itu, ia menyampaikan kedatangannya, mengabarkan bahwa, ada seorang penelpon dari Griya Zainah, salah satu agen penyalur pembantu, yg tempo hari, di titip'i oleh sara bila ada yg membutuhkan tenagannya.
sara pun bergegas, di kampung itu, memang hanya bu Menik yg punya pesawat telpone, karena itu, banyak warga yg selalu minta tolong kepada beliau.

termasuk untuk urusan ini.

sara menjawab telpon, menyampaikan kesiapannya, ia di minta datang esok hari, ke rumah si penyalur.

Untuk sementara, sara menunda keberangkatannya. ia berharap, bila memang rejekinnya tidak jauh dari tempatnya tinggal, ia akan menyanggupinnya, mengingat, bapak sudah tua, dan mungkin ia tidak mau jauh dari anak semata wayangnya, yg hanya lulusan SD, seperti kebanyakan-
-anak perempuan di kampung itu.

Baginya yg sekarang sara pikirkan adalah, ia harus mencari uang, untuk menopang kebutuhan yg kian hari semakin melejit, untuk makan sehari-hari saja sudah susah, untuk itu, sara nekat melamar untuk menjadi pembantu di rumah orang yg mampu.
langit masih gelap, namun sara begitu antusias, meski ia janjian akan datang pukul 8, sara sudah bergegas keluar rumah, saat fajar pertama sudah menyingsing tinggi.

ia harus naik angkutan kota, kampungnya ada di pinggiran, butuh waktu 1 setengah jam untuk sampai ke kota.

tibalah sara, di depan rumah besar itu, meski dalam bentuk rumah, namun, si pemilk sudah sangat terkenal sebagai agen penyalur tenaga kerja untuk orang yg mencari jasa PRT, sara baru tiba, dan dilihatnya, sudah banyak sekali orang menunggu, tampaknya, sara bukan satu2nya yg datang
butuh waktu lama, untuk akhirnya nama sara yg di panggil, ia masuk ke sebuah ruangan kecil, melihat si pemilik agen penyalur, lalu, ia menjelaskan bahwa kemungkinan ia butuh jasa PRT untuk satu keluarga, namun, ia masih harus di seleksi, dan siang ini, si keluarga, akan datang.
namun, sebelum keluarga itu datang, si pemilik jasa, bertanya pertanyaan yg membuat sara sedikit curiga, lebih tepatnya, pertanyaannya, mengundang banyak sekali pertanyaan, salah satunnya.

"sara, bener, awakmu lahir pas dino jum'at kliwon"
(sara, ini benar, kamu lahir jumat kliwon)
sara yg mendengar pertanyaan itu, awalnya kaget, namun, dengan tergagap, sara bisa menjawabnya, bila memang benar, ia lahir di hari kliwon, namun, ia tidak tahu, bila itu, hari jumat.

si pemilk jasa, mengangguk, seakan ia menemukan apa yg ia cari, bagi sara, itu pertanyaan aneh.
"hayangati ya sara" (hari lahir kamu istimewa ya sara) kata si pemilik jasa, lalu kemudian, ia membawa sara keruangan lain yg lebih besar, lebih megah, ia di minta untuk menunggu, sayangnya, sudah ada 2 orang yg sudah duduk disana lebih dahulu. tampaknya, sara sudah lolos.
selama berjam-jam, sara menunggu disana, ia sudah mengobrol dengan 2 orang yg duduk, namanya adalah surti dan tini, usiannya tidak jauh dari sara, masih muda, dan belum menikah

entah sampai mana mereka bicara, tiba2, si pemilik jasa, memanggil salah satu dari mereka. surti keluar.

lama tidak ada kabar, surti tidak kembali, sekarang, ganti tini yg dipanggil, kini, tinggal sara sendirian di ruangan itu, menunggu, entah untuk apa.

disela kebosanannya, sara melihat-lihat lewat jendela, disana, ia melihat banyak mobil terparkir, sara tidak melihat mobil itu tadi
kini, tiba giliran sara yg di panggil.

dengan ragu, ia keluar, berjalan menuju ruangan tadi, yg sekarang, ada si pemilik jasa, dengan seorang wanita yg memakai pakaian adat, kebaya, lengkap dengan sanggul, ia duduk anggun, menatap sara dari ujung kepala, hingga mata kaki.
ia tersenyum, sangat tulus, membuat sara merasa sungkan sekali, seakan berhadapan dengan orang berderajat tinggi sekali, sara bahkan tidak berani melihat matannya, auranya, begitu membuat sara merasa kecil sekali.

"ayu ne," (cantik sekali) ucapnya, nada suarannya sangat halus.

sara di minta untuk duduk, kemudian, si pemilik jasa memperkanalkan siapa wanita anggun itu, yg rupannya, adalah pemilik rumah makan yg saat itu terkenal sekali seantero jawa timur, sebegitu terkenalnya. kekayaannya, tidak perlu lagi di pertannyakan. semua itu, membuat terkejut.
namannya, Kembang darmo, meski itu hanya semacam gelar, namun, sara tahu arti nama itu, yg berarti Bunga darmo, bunga yg wanginya dulu sudah melegenda, sebelum di tumpas, untuk menyingkirkan balak di atas gunung I***, saat bangsa lelembut masih mendiami tanah jawa.
semua orang disini tahu cerita itu, sara hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu

"angkaten sirahmu ndok, ra usah wedi ngunu, mbah ki wes tuwek, ra usah hormat koyok ngunu" (angkat kepalamu nak, tidak usah takut begitu, mbah ini sudah tua loh, tidak perlu sehormat itu)

sara hanya mengangguk, ia tidak membuang rasa segannya, seperti yg di perintahkan. tibalah saat, mbah darmo, mulai mengajukan beberapa pertanyaan yg sama.

mulai dari lahir, weton, penanggalan yg bahkan sara bingung menjawabnya. puncaknya, saat ia menyentuh tangan sara, ia tersenyum

"ndok, gelem kerjo ambek mbah" (nak, kamu mau kerja sama saya)

sara mengangguk,

"jalok piro, bayaranmu sak wulane" (kamu minta berapa untuk gajimu dalam sebulan?) tanya mbah darmo,

sara bingung menjawabnya, kemudian, dengan gugup, ia mengatakannya. "700 ewu mbah, nek saget"
(700 ribu nek, kalau bisa)

sara sempat melirik wanita itu, ia tetap anggun dengan senyumannya. "700 ewu" (700 ribu) katannya. "yo opo, nek tak kek'i sak wulane, 5 yuto" (bagaimana bila, setiap bulan, ku kasih kamu 5 juta)

sara kaget bukan maen, gaji PRT tahun itu cuma 500 ribu.

sara pun setuju, ia tidak tahu harus mengatakan apa, bahkan ketika si wanita sudah pergi, si pemilik jasa, tidak akan memungut uang sepersen pun dari sara, hal ini, membuat serentetan kejadian ini menjadi semakin aneh.

pekerjaan macam apa yg di gaji setinggi itu. sara mulai ragu.

ia pulang, menceritakan sama bapak,

namun, bapak mengatakan hal yg sedari tadi di pikirkan sara.

"firasat bapak kok gak apik yo ndok, opo gak usah budal ae, golek maneh ae" (firasat bapak kok buruk ya, apa gak usah aja, cari yg lain)

namun sara meyakinkan, bahwa ia harus kerja kapan lagi, ia mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi itu.

dalam hati kecil sara, ia ingin melihat terlebih dahulu, pekerjaan apa yg di berikan kepadanya, keesokan harinnya, ia pergi, ke rumah mbah darmo, disana, ia melihat surti dan tini, mereka sama-sama terkejut satu sama lain
seperti sebelumnya, mereka, di panggil satu persatu, hingga tiba giliran sara, kali ini, ia melihat semua anggota keluarga mbah darmo.

ada 7 orang, yg kesemuannya, duduk memandang sara, sama seperti sebelumnya, mereka seperti mengamati sara dari ujung kepala, hingga mata kaki.

"ngeten mbak, kulo bade tandet, sampean purun, nyambut ten mriki, soale, onok pantangan'e, nak sampeyan purun, pantangane ra isok di cabut maneh" (begini mbak, saya mau tanya dulu, anda setuju bekerja disini, karena ada larangan keras bila anda sudah menerimannya, larangannya-
-tidak akan bisa dicabut) kata seorang wanita yg lebih muda. umurnya berkisar sekitar 30'an.

"larangan nopo nggih mbak" (larangan seperti apa?)

sara bisa melihat gelagat aneh, karena mereka saling memandang satu sama lain, seakan pertanyaan sara tidak perlu mereka jawab.
mbah darmo berdiri dari tempatnya, ia lalu berbisik pada sara "uripmu bakal dijamin, nek awakmu gelem ndok, tapi nek awakmu gak gelem, mbah gak mekso" (hidupmu akan terjamin bila kamu mau, tapi saya tidak mau memaksa kalau kamu tidak mau)

tidak ada jawaban dari pertanyaan sara.
namun, sara memberi jawaban pada saat itu juga.

"nggih, kulo purun" (iya, saya mau)

sara pun melangkah pergi, ia menemui tini dan surti, rupannya, mereka semua diterima bekerja disini. disini? adalah pertanyaan yg akan membuat mereka kebingungan, terutama, saat malam mereka tiba.
Malam itu. ketika mereka semua sudah datang di rumah ini. tampak mbah darmo sudah menunggu bersama anggota keluarga lain, disini, ia menjelaskan, bahwa mereka bertiga, akan di tugaskan, di sebuah rumah lain, sebuah rumah yg sangat jauh, jauh sekali, rumah di dalam sebuah hutan.
sara dan yg lain bingung, tidak ada penjelasan ini sebelumnya, namun, mereka sudah berjanji mau menerima pekerjaan ini.

rumah macam apa yg di maksud pun sara tidak mengerti, ada sebuah mobil yg sudah siap mengantar mereka, disana, sopir mereka, akan menjelaskan pekerjaannya.
Mobil sudah bergerak, sara, surti dan tini, masih terlihat kaget, satu sama lain tidak ada yg bicara, bingung, sara memberanikan diri bertanya kepada sopir, namun sopir, memberi isyarat bahwa mereka, tidak boleh bicara terlebih dulu, seakan-akan, mereka di buntuti sesuatu.
ada kejadian menarik yg membuat sara semakin curiga, setiap persimpanga, si sopir berhenti, mengambil sesuatu dari belakang, meletakkannya di tengah jalan, seperti bunga-di dalam kotak yg terbuat dari daun pisang.

hal itu, menimbulkan kecurigaan apa yg sebenarnya ia lakukan.
hal itu terus menerus dilakukan, sampai akhirnya, mobil sudah meninggalkan kota, jauh, dan perlahan mulai memasuki area hutan, jam menunjukkan pukul 12 malam, saat kegelapan hutan, mulai menyelimuti mereka

tidak terbayangkan, bahwa mereka, akan tinggal di dalam hutan segelap ini
kiri kanan pepohonan, dengan semak belukar, Mobil terus berjalan, sampai, tiba di sebuah jalan setapak, perlahan, mobil melesat masuk, diatas jalan setapak yg di tumbuhi rumputan liar, mobil terus menerabas memaksa masuk.

sara dan yang lain, mulai merasa tidak nyaman dengan ini.

"pak bade ten pundi niki, kulo mboten di pateni kan" (pak, kita mau kemana, saya tidak akan di bunuh kan?) tanya tini.

si sopir hanya tersenyum, tetap memaksa mobil, menembus sela pepohonan, seakan mencari jalan di tengah gelap hutan yg di penuhi kabut di sepanjang jalan.
setelah jauh masuk ke dalam hutan, mobil berhenti di sebuah semak dan pohon yg tidak lagi bisa di lalui mobil, ada kejadian aneh, dimana ada satu pohon yg tidak terlalu besar, tumbang begitu saja

si sopir keluar dari mobil, menyingkirkan pohon tumbang itu, dan darisana ada jalan
setelah melewati jalan yg naik turun, mereka sampai di sebuah rumah gubuk, terbuat dari kayu yg di susun serampangan, atapnya tidak terlalu tinggi, terlihat sangat kumuh, bahkan lebih kumuh dari rumah sara, darisana, muncul seorang pria tua, yg seperti sudah menunggu mereka semua.
sara dan yg lain turun, kemudian si sopir menjabat tangan si pria tua, mencium tangannya, sebelum memperkenalkan sara dan 2 orang lainnya.

"mulai tekan kene, bapak iki sing jelasno kabeh" (mulai dari sini, si bapak yg akan menjelaskan semua)
tampak dari luar, bapak itu sudah uzur, bahkan carannya berjalan saja seperti kewalahan menyangga badannya sendiri.

ia tidak bicara banyak, hanya memperkenalkan namannya, pak Ageng, katannya, lalu, ia mengajak sara dan yg lain masuk ke rumah itu, ia menunntunya masuk ke kamar
disalah satu kamar itu, sara dan yg lain, kaget bukan maen, karena tepat di atas ranjang, ada sebuah peti mati, keranda mayat, di dalamnya, ada seorang gadis yg mungkin masih SMU, masih muda, ia memejamkan matannya, di badannya, ia melihat nanah busuk dan garis lebam hitam, siapa?

"nami kulo Tamin, kulo ngertos, akeh sing kepingin njenengan2 takokno, enten opo sing kedaden nang kene" (nama saya Tamin, saya mengerti, pasti banyak yg ingin kalian tanyakan tentang apa yg barusaja kalian lihat disini)

si pria tua itu membungkuk, sebelum melangkah keluar kamar
"onok opo asline nang kene" (ada apa sih sebenarnya ini) kata tini, ia tidak bisa mengalihkan pandanganya pada gadis itu.

matanya terpejam, di kurung oleh bambu kuning yg di bentuk menyerupai keranda mayat, sara dan yg lain, yakin, ada sebuah rahasia di tempat ini, namun apa itu!
saat-saat kebingungan itu, sara melangkah mundur, ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yg entah siapa dan kenapa ada disini, ia berniat mencari tahu, dan bertanya langsung kepada sopir yg mengantar mereka, sampai, langkahnya terhenti menakala, ia mendengar si sopir berbicara.

"gik, opo gak onok sing jelasno nang cah iku mau, kerjo opo nang kene, kok koyok'ane kaget ngunu" (Gik, apa gak ada yg ngasih tau mereka, pekerjaan apa yg sebenarnya di janjikan disini, kok tampaknya mereka terkejut sekali)

si sopir mulai bicara. "dereng mbah, ngapunten"
(belum mbah, maaf)

"awakmu langsung balik tah, gak mene a?" (loh, kamu mau langsung pulang tah, apa gak besok saja) tanya si mbah

"mboten mbah, mbenjeng kulo kudu ngantar ibuk" (tidak mbah, besok saya harus mengantar ibu)

"yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku"
(ya sudah, hati hati, takutnya ada itu)

"iku" batin sara, apa maksud kalimat itu, apa yg mengikuti sebenarnya, dan ada apa semua ini, banyak pertanyaan muncul dalam kepala sara, sebelum, si mbah tiba-tiba bicara.

"metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu" (keluar saja nak, saya tau kamu ada disitu)

sara melangkah keluar, melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang.

"celuk'en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo sedoyo onok nang kene" (panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada disini)

sara ' pun memanggil yg lain.
mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk, sementara sara dan yg lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.

suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, sara merasa kecil di tempat ini

"aku isih iling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso" (aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa) "koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!" (seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu
terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!) wajah mbah Tamin menegang, kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat sara dan yg lain begidik ngeri.

"cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar"
(anak kecil itu Dela, dia yg di kamar)

"SANTET?" ucap sara dan yg lain bersamaan

wajah sara dan yg lain semakin menegang

"iyo, mangkane, cah iku, di gowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane" (iya, karena itu dia di smebunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya)

"disingitno tekan sinten mbah" (di sembunyikan dari siapa mbah?) tanya sara, yg semakin tertarik, seakan semua yg ada disini membuatnya penasaran.

mbah Tamin menatap sara, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae"
(banyak yg tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja)

suasana menjadi hening sesaat, mbah Tamin mengambil sebuah kotak, mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat, asap mengepul dari mulutnya.

"sak iki, tak uruki tugas'e njenengan kabeh yo" (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini)
mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar sara dan yg lain mengikutinya. ia berjalan disamping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yg di susun, memang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yg hanya dari lampu petromax, selain itu, kegelapan, ada dimana-mana

ia berhenti tepat di belakang rumah, ada sebuah pagar bambu, dimana, di dalamnya, ada sebuah sumur, disana, tempat untuk mandi, dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini, termasuk, untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yg terbaring tak bergerak.
hanya sara yg berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu, entah apa dan kenapa, sara seakan tahu, cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa, hal itu, membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua

"iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo" (iya, cara memandikanya, memang berbeda, ada tata caranya, salah satunya, bunga 7 rupa)

mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus, dimana, ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempeh dengan cekatan, mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur

lalu, ia melihat sara, memanggilnya, tini dan surti hanya mengamati saja

ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela, sara menuruti apa kata mbah Tamin
walau sebenarnya ia bingung, kenapa Dela harus diikat, setelah sara menyelesaikan tugasnya, mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu, ia mulai membasuh badan Dela, sara ikut membantu, dan disana, sara menemukan fakta mengejutkan lain

perut Dela, membesar seperti mengandung
sara yg membasuhnya, menatap mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget, namun mbah Tamin tampak mengerti apa yg ingin sara tanyakan, setelah selesai dengan semua itu, Keranda kembali di tutup, dan kain yg mengikat Dela di lepas satu persatu.

mbah Tamin melangkah pergi.

"mbah" kata sara, mengejar mbah Tamin, di belakangnya ada tini dan surti yg tidak tahu apa yg baru sara lihat

"engkok, tak ceritani, nek awakmu wes siap" (nanti saya ceritakan kalau kamu sudah siap saja) kata mbah Tamin, "tugasmu kabeh, ngurus Dela" (tugas kalian mengurus Dela)

sudah 3 hari berlalu, sara, tini dan surti, bergantian mengurus Dela, mulai memandikanya, memberinya minuman, gadis itu, lebih seperti gadis yg tengah koma di bandingkan gadis yg di santet entah oleh siapa dan bagaimana latar ceritanya, masih terlalu awam untuk tahu, pikir sara
entah sudah keberapa kali, sara mendengar surti dan tini berbicara tentang Dela, berbicara tentang bau busuk yg keluar dari tubuhnya, sampai kalimat tidak menyenangkan lainya saat mereka tinggal di tempat ini, dan betapa misteriusnya lelaki tua bsurtima Tamin itu, sara memilih diam
namun, di luar semua itu, sebenarnya sara sama seperti yg lain, aroma busuk itu, benar2 menganggunya, selain itu, hidup disini sangat berat, tidak ada orang lain, kiri kanan hanya pohon liar, seakan mereka tinggal di dunia yg berbeda

suatu sore, mbah Tamin pamit, ia akan pergi
ia berpesan kepada sara dan yg lainya, untuk tetap menjalankan tugasnya, dan tidak melupakan pantangan yg sudah ia ucapkan, salah satunya, untuk tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu.

tidak lupa, mbah Tamin juga berpesan, untuk tidak membukakan pintu, pada malam ini.
siapapun dan bagaimanapun, jangan membuka pintu, ucap mbah Tamin, sebelum ia pergi, melangkah menembus pepohonan hutan.

sara yg mendengarnya, merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu.
hari sudah gelap, sara menutup pintu dan jendela, lalu pergi ke kamar, disana ia melihat tini sudah tidur, di sampingnya surti tengah meringis menahan sakit,

"koen kenek opo Er?" (kamu kenapa Er) tanya sara,

"sara, aku oleh jaluk tulung" (sara, aku boleh minta tolong tidak)
"jalok tolong opo?" (minta tolong apa?)

"engkok bengi, wayahku ngadusi Dela, isok mok ganteni, mene, wayahmu tak ganteni" (malam ini giliranku memandikan Dela, bisa kamu gantikan, besok, ganti aku yg gantikan kamu)

awalnya, sara keberatan, namun, melihat kondisi surti, sara setuju
setelah menerima permintaan surti, sara bersiap mengambil air, ia lupa, bahwa air di gentong dapur sudah habis, terpaksa ia membuka pintu, bersiap untuk menimba air dari sumur.

meski awalnya ragu, sara mematung di depan pintu, lalu, perlahan membukanya, lalu keluar
entah perasaan tidak enak macam apa yg sara rasakan, malam ini, lebih hening dari biasanya, tidak terdengar suara binatang malam, seakan membawa ketakutan sara yg selama ini ia tahan menyeruak keluar

sara melangkah keluar, ia cepat2 pergi ke sumur, menimbanya, lalu kembali, tapi..
dari sudut mata sara, jauh di salah satu pohon besar di samping pagar bambu kamar mandi, sara melihat ada wajah yg mengamati, saat sara menatapnya, wajah itu menghilang, sara terdiam cukup lama, namun, ia tetap melanjutkan tujuanya

ia harus cepat melakukan tugasnya,
sara segera menimba air dengan cepat, tidak lupa matanya awas menatap sekeliling, seakan ia sedang di kejar sesuatu, setelah semua selesai, sara berlari dan mengunci pintu, perasaan lega langsung di rasakan oleh sara. kini, ia melangkah menuju kamar Dela.
sara meletakkan airnya, taburan kembang sudah ia lakukan, kini, sara membuka keranda Bambu kuning, mulai membasuh tubuh surti dengan handuk kecil, ia masih tertuju pada perut besarnya, yg kata surti, di hamili oleh mbah Tamin, namun, sara tidak percaya, ia selalu menyangkal ucapan itu
sara terus membasuhnya, hingga sampai ke tanganya yg penuh luka borok, disana, sara terdiam, ia lupa, belum mengikat tangan dan kaki surti, saat sara baru menyadarinya, ia menatap surti, membuka mata, tersenyum menyeringai, melotot menatap sara.
Dela*

kaget, sara beringsut mundur, namun Dela mencekik leher sara kuat-kuat, ia mengangah, menunjukkan gigi hitamnya yg membusuk.

terjadi pergulatan hebat antara sara dan Dela, sara hanya berusaha melepaskan cekikan Dela yg kuat sekali, membuatnya hampir meregang nyawa
"sopo koen ndok?" (siapa kamu nak?) tanya Dela, suaranya berat, nyaris menyerupai suara seorang wanita tua.

"nang ndi iki ndok?" (dimana ini nak)

sara masih mencoba melepaskan cengkraman kuat itu, namun Dela, terus menyeringai, air liurnya menetes, matanya putih, ia tersenyum
"jawab nek di takoni ndok" (jawab kalau di tanya!!)

"sinten njenengan" (siapa anda) tanya sara terbata-bata, nafasnya mulai sesak,

Dela tertawa semakin keras, membuat sara menangis ketakutan, sebelum, surti masuk ke kamar karena keributan itu, ia bingung, melihat Dela terbangun
"onok opo iki sara, kok Dela kok Dela" (ada apa ini sara, kenapa Dela, kenapa Dela) bingung, Dela menyeringai melihat surti sebelum akhirnya melepaskan cekikan itu, ia melompat ke atas ranjang, merangkak kemudian seakan tertawa kegirangan, Dela berteriak, "cah kliwon kabeh"
(ternyata anak kelahiran kliwon semua)

Dela masih tertawa, sara beringsut mundur, sementara surti masih bingung dan shock, melihat wajah Dela yg semengerikan itu,

Dela terus melihat sara dan surti bergantian. "percuma, sewu dinone arek iki bakal entek" (percuma, seribu harinya-
-anak ini akan segera habis)

"koen kabeh mek dadi tumbal gawe cah iki," (kalian hanya jadi tumbal untuk anak ini) Dela tertawa terus menerus, sebelum sara melompat dan mencengkram Dela, ia mengguyur Dela dengan air kembang itu, Dela berteriak kesakitan,
"koen lapo!! jupukno Tali ireng iku," (kamu ngapain!! ambilkan tali hitam itu) teriak sara pada surti, surti yg sempat kebingungan, bergegas mengambil tali itu, sara mengikatnya tepat di lehernya.

"onok opo iki sara" (ada apa ini sara) surti ikut menahan tubuh Dela yg meronta
sebelum akhirnya Dela menjadi tenang, dan ia kemudian tertidur kembali, sara baru mengikat tali itu dengan benar, ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya, menutupnya dengan keranda bambu kuning.

wajah surti dan sara masih tidak percaya atas apa yg baru saja terjadi.
surti mulai menangis. "aku kepingin muleh" (aku ingin pulang)

sara tidak berkomentar, ia sadar, bahwa sekarang, ia juga ingin pulang, hanya saja bila bukan karena sudah terikat dan pasti ada resiko yg sudah menunggu bila mereka pulang, lantas, apa yg di sembunyikan oleh si mbah
sara menceritakan semuanya kepada surti, ia lalai dalam menjalankan tugasnya, karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tanganya terlebih dulu.

namun gara-gara itu, sara menyadari, Santet macam apa, yg memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa
sara jadi ingat cerita bapak, Santet bukan hal baru disini, namun, untuk melaksanakan santet di butuhkan kebencian yg melebihi akal, bila benar itu, kebencian macam apa yg bisa dan setega ini dilakukan oleh orang, hanya untuk mengambil nyawa dari anak yg tidak tahu apa-apa.
namun di balik semua itu, santet ini adalah kali pertama sara lihat, seperti ada teka-teki, seakan ada yg di tutupi, pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya, namun apa, sara tidak tahu apapun dari keluarga ini, dan kenapa anak ini sebegitu berharganya,

sampai, sara teringat
"Sewu dinone" (seribu harinya) kata sara lirih, ia melirik menatap surti,

"Er, ojok ngomong awakmu lahir jumat kliwon" (Er jangn bilang kamu lahir di hari jumat kliwon)

surti yg mendengarnya, kaget "awakmu pisan?) (kamu juga)

sara merasa ngeri, sekarang ia tahu sesuatu,
namun, ada satu lagi yg harus ia cari kebenaranya, bila benar, pertanyaanya lengkap, begitupun jawabanya, tidak hanya Dela yg hidup di ujung maut, tapi, mereka bertiga semua, terjerat dalam satu garis weton yg sama.

sejahat itu keluarga ini, untuk harga nyawa mereka semua
lalu, terdengar suara orang mengetuk pintu.
surti pun sama, ia langsung berdiri

"mbah Tamin muleh sara, ayo takon mbah asu iku, pokoke kudu di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki" (Mbah tamin pulang sara, ayo kita tanya orang tua anj*ng itu, dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak gila ini"

surti pergi,
sara baru ingat pesan mbah Tamin, ia langsung bergegas bersiap menghentikan surti, sara lari mengejar surti, untungnya, ia masih sempat mencengkram lengan surti, mereka terdiam di depan pintu rumah.

suara ketukan itu, terdengar lagi, setiap ketukanya, terdiri dari 3 ketukan,
semakin lama, ketukanya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.

sampai, tidak ada ketukan lagi.

surti dan sara saling berpandangan, bingung, keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu, sebelum,

sesuatu, menggebrak pintu dengan keras, hingga membuat mereka tersentak
mereka hanya diam, berusaha tidak bersuara, lalu, dari belakang, seseorang melangkah masuk.

tini, melihat 2 temanya, terlihat kacau balau, ia bingung, kemudian berujar, "ga krungu mbah Tamin nyelok ta, ndang di bukak lawange" (kalian gak denger mbah tamin manggil, buka pintunya)
"he, ojok ngawor koen" (jangan ngawur kamu) celoteh surti, namun tini memaksa, bahkan sara yg memegang tanganya, tini pelototi, sampe akhirnya mereka mengalah,

tini membuka pintu, disana, mbah Tamin berdiri, ia hanya diam, menatap mereka semua, sebelum melangkah masuk ke rumah
anehnya. malam itu, wajah mbah Tamin tampak merah padam, ia tidak berbicara kepada mereka, tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung di buka padahal ia sudah memanggil-manggil daritadi.

namun, sara, merasa, mbah Tamin tahu, bahwa ia, baru saja lalai terhadap Dela.
sara dan yg lain, mengikuti mbah Tamin, beliu, masuk ke dalam kamar Dela, lalu perlahan, ia membuka keranda bambu kuning, ia membukanya, kali ini, tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan ingin mengulang kesalahan sara.

hanya sara dan surti, yg memandang hal itu dengan ngeri.
sara mendekat perlahan, seakan ingin melihat lebih dekat apa yg orang tua itu lakukan, lalu, tiba-tiba, mata Dela terbuka, ia melihat mbah Tamin, menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.

"Loro ki, loro" (sakit ki, sakit sekali)

Dela hanya menangis.
mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela, berusaha menenangkanya, pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yg saling mengasihi, namun, sara masih belum mengerti, kenapa, seakan Dela yang ini berbeda dengan Dela yg sara dan surti temui tadi.

apa yg terjadi sebenarnya?
"sing sabar yo nduk, mari iki puncak lorohmu" (sabar ya nak, sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu) ucap mbah Tamin, ia masih mengelus rambut Dela.

lalu, Dela melirik, sara dan yg lain yg hanya diam mematung, tatapanya, seakan mengucapkan "terimakasih sudah mau merawat saya"
mbah Tamin lalu mengikat tangan dan tali Dela, tergambar wajah sedih disana, ia masuk ke dapur, mengambil sebuah kain putih besar, saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras, ia berulang kali mengatkan.

"ojok ki, ojok balekno aku nang kono" (jangan ki,-
-jangan kembalikan saya kesana)

namun, mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu, menutupi sekujur tubuh Dela yg meronta-ronta, terakhir, mbah Tamin membakar kemenyan, sebelum memegang, kepala Dela, dan terdengar, suara raungan yg mengguncangkan seisi rumah itu.
sara dan surti sampai beringsut mundur, sosok didalam kain itu terus meraung layaknya iblis yg sara saksikan tadi, kali ini, tini tampak terguncang, bingung, ada apa sebenarnya disini.

terdengar suara marah dari dalam kain. ia adalah wujud tadi yg sara saksikan, "Menungso bejat"
(manusia berengsek)

mbah Tamin terus menekan kepalanya, membuat suara itu semakin menjerit marah, setelah kurang lebih 5 menit mbah Tamin melakukan itu, perlahan, sosok itu mulai tertidur, dan mbah Tamin membuka kain itu, ia melihat Dela memejamkan matanya.
"sara, surti, melok aku" (kalian ikut saya) kata mbah Tamin memanggil mereka, sementara tini, tetap di kamar, hanya dia yg belum mengerti apa yg terjadi disini.

mbah Tamin duduk di teras rumah, kegelapan hutan, benar-benar mencekam kala itu, sara dan surti berdiri, menunggu, sebelum
mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan, "awakmu isok ndelok ikuh" (kalian bisa melihatnya)

"nopo to mbah" (apa ya mbah) kata sara, bingung.

"mrene" (kesini)

mbah Tamin, menempelkan jemarinya, menekan mata sara, sengatan ketika mbah Tamin menekan mata sara, membuat-
pengelihatanya memudar perlahan, setelan mencoba memfokuskan matanya, sara melihat lagi apa yg di tunjuk mbah Tamin.

bagai petir di siang bolong, sara melihat, banyak sekali makhluk yg tidak bisa dia gambarkan kengerianya, mungkin ada ratusan, atau ribuan, seakan mengepung rumah
butuh waktu lama, sampai sara akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya, sehingga mbah Tamin menutup kembali pengelihatan itu, mencabut sesuatu dari ubun-ubun sara,

dengan mata menerawang, ia mengatakan kepada sara.

"Sedo bengi mangkuk nang rogo iku ngunu undangan gawe lelembut"
(raga yang di buat mati adalah sebuah undangan bagi makhluk seperti mereka) kata mbah Tamin,

"awakmu lali, perintahku sara, iku ngunu bahaya, isok mateni Dela, ojok sampe lali maneh yo sara" (kamu lupa dengan perintahku, itu sangat berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan ulangi ya)
surti yg sedari diam saja,a ikut berbicara. "mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh sara" (Mbah tolong kasih tahu, apa yg terjadi sama Dela, kok bisa bisanya, dia mau bunuh saya dan sara)

mbah Tamin duduk lagi, lalu mengatakan "berarti wes ndelok"
(berarti kamu sudah lihat)

"iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok, mergane cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo, Santet sewu dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati"
(itu adalah Cayajati, yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa karena ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami isteri, santet seribu hari, hanya di miliki oleh orang yang siap menanggung dosa, dan siap mati bersama)

sara dan surti masih terlihat bingung, ia tidak mengerti
mbah Tamin menerawang jauh, menatap sisi hutan tergelap yang sara saksikan dengan mata kepala sendiri, mereka tidak sendirian di hutan ini.

dengan suara berat, mbah Tamin mengatakanya.

"terlalu awam, kango ngerti iki" (terlalu awal untuk mengerti ini)
"intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual, kanggo mateni sak keluarga sampe sekabehe keturunan iku entek" (intinya, ilmu santet seribu hari, adalah pembuka ritual, untuk menghabisi satu garis keluarga sampai habis keseluruhanya)
setelah percakapan itu, mbah Tamin melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya, membiarkan semua kejadian itu, meluap, begitu saja.

dengan pertanyaan besar, yg masih menggantung di atas pikiran sara dan surti?!
pagi itu, sekitar pondok, kabut tebal menutupi seluk beluk hutan, membuat pandangan mata terbatas, sejak fajar menyingsing, sara dan tini sudah ada di sumur, mencuci pakaian untuk keseharian mereka, sedangkan surti, tengah membasuh Dela didalam kamar

sampai, terdengar langkah kaki
sara yg pertama mendengarnya.

ia berdiri untuk melihat, dari jauh, sosok hitam muncul dari balik kabut. perawakanya familiar.

denah pondok rumah, memang sederhana, dari teras maupun kamar mandi, bisa melihat keseluruhan area sekitar, sehingga, sosok mendekat itu, terlihat jelas
semakin dekat sosok itu, sara semakin yakin, dan benar saja, ia mematung sesaat, sebelum tini ikut berdiri dan melihat apa yg membuat sara tampak tercekat dalam ekspresi wajahnya, manakala, ia melihat, mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yg letih.
ketika, mbah Tamin berdiri di depan sara, ia seraya bertanya, apakah petuah beliau sudah di jalankan.

sara hanya diam, bibirnya gemetar, tini lah yg berinisiatif mengambil situasi, ia berucap lirih.

"mbah, sampeyan mambengi mboten mantok ta" (mbah, bukanya semalam, anda pulang)
mbah Tamin yg mendengar itu, tiba-tiba mengejang, otot wajahnya mengeras, lantas memandang sara dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapanya.

"awakmu gak wes tak kandani ta, ojok MBUKAK LAWANG"
(bukanya, kamu sudah tak kasih tau, jangan BUKA PINTUNYA)
terjadi ketegangan dalam situasi itu, sampai, tiba2, mbah Tamin mencengkram leher sara, tini yg melihat itu, panik.

"SOPO SING MOK OLEHI MELBU OMAH, NANG NDI MAKHLUK IKU!!" (SIAPA YG KAMU IJINKAN MASUK, DIMANA SEKARANG DIA BERADA)

tini, mencoba menahan tangan mbah Tamin,
sara hanya membuang muka, ia sudah gemetar ketakutan.

"nang kamar njenengan mbah, tiange mlebet mriku" (di kamar anda mbah, dia masuk kesitu) ucap tini, mbah Tamin sempat melirik tini dengan wajah marah, sebelum, bergegas masuk ke rumah, setengah berlari seakan ingin melihatnya.
sara dan tini ikut mengejar, bahkan, mereka sempat melihat surti yg terdiam mematung, seakan kaget melihat mbah Tamin muncul dari luar rumah, padahal, ia tahu betul, si mbah belum keluar dari kamarnya sejak semalam masuk kesana

tepat ketika, mereka sampai disana, mereka melihatnya
seseorang mengobrak abrik kamar mbah Tamin, semua barang mbah Tamin berantakan, namun, yg membuat semua orang tercengang adalah, di atas ranjang tempat tidur beliau, ada patek (nisan dari kayu) yg tertulis nama "Atmojo"

nama keluarga tempat mereka mengabdikan diri. darmo Atmojo
cukup lama bagi mbah Tamin, memeriksa benda itu, tanpa melihat sara dan tini, si mbah berucap "opo sing di lakoni nang kene mambengi ndok" (apa yg dia lakukan saat ada disini semalam)

sara kali ini yg bicara, ia mengatakan semuanya, termasuk Dela, mimik wajahnya berubah, ia diam
sebelum, akhirnya berjalan menuju Dela.

mbah Tamin melihat anak gadis itu, masih terlelap dalam tidurnya, ia membelainya layaknya anak gadisnya sendiri, sama seperti sosok yg ia lihat semalam.

siapa sosok itu sebenarnya. sara terlihat berpikir, seakan mencari tahu jawaban itu.
setelah hari itu, mbah Tamin mengatakan, ia akan lebih sering keluar rumah, pesanya sama seperti dulu, jangan bukakan pintu manakala hari sudah petang.

sara, surti dan tini, mengangguk, pertanda mengerti, namun, perlahan, semua mulai memikirkan itu, kemana si mbah sebenarnya.
sara, surti dan tini masih melakukan tugas mereka, secara bergantian sama seperti biasanya.

sampai, suatu pagi, si mbah belum juga pulang. ini aneh, tini dan surti, ada di sumur, mereka sedang mencuci pakaian mereka, saat itu, sara baru saja melaksanakan tugasnya, membasuh Dela.

tidak ada yg berubah dari gadis itu, sebenarnya, bila saja Dela tidak di jahati seperti ini, dia melihat sosok gadis muda yg cantik jelita, tidak hanya itu, perawakanya memang layak menjadi dambaan bagi pria manapun, namun, nasib seperti mempermainkanya, sara merasa bersimpati.
manakala ia selesai melaksanakan tugasnya, tiba-tiba terpecik pikiran penasaran, selama ini, bila di pikir-pikir ia belum psurtih masuk ke kamar mbah Tamin, hanya melihatnya dari luar, kira-kira apa yg orang tua itu simpan di dalam kamarnya.
setelah melihat dan memastikan tidak ada orang disana, ia membuka pintu itu, yg memang tidak di kunci. sara melangkah masuk, melihat kamar mbah Tamin, tidak ada yg istimewa, selain benda yg sama yg ia temui di dalam kamarnya, lalu, mata sara tertuju pada sebuah almari tua.

ia menemukan pakaian mbah Tamin, tidak ada apapun disana, bahkan di antara selipan almari, dari atas hingga bawah. lalu, mata sara tertuju pada sebuah meja yg sudah usang, disana, ada sebuah laci kecil, dengan jantung berdegap kencang, sara membukanya, kemudian, melihat isinya.
disana, ia menemukan pasak jagor (boneka isi rumput teki) bentuknya sudah sangat berantakan akibat di cabik dan di tusuk, masalahnya, sara tahu benda apa itu, itu adalah benda yg sering di gunakan untuk media santet, apa yg sebenarnya orang tua itu lakukan.
tidak hanya itu saja, ada beberapa benda lain, sebuah cincin akik dengan batu merah, dan terakhir, sebuah foto yg usang, dibelakangnya tertulis "keluarga Atmojo" ketika sara memperhatikan foto itu, ia memekik ngeri, ada mbah darmo dan seluruh keluarganya yg psurtih ia lihat.
kaget, takut, dan merinding, itu yg sara rasakan, cepat-cepat ia mengembalikan semuanya, menutup laci itu lagi, kemudian melangkah keluar, saat sara membuka pintu, ia tersentak, melihat surti dan tini menatapnya kaget. Agen Togel

"lapo koen" (ngapain kamu)

sara terdiam, ia berusaha tetap diam
"gak popo, aku di kongkon si mbah, mberseni kamare mambengi" (semalam, si mbah nyuruh saya bersiin kamarnya)

meski curiga, surti dan tini menerima alasan sara, ia melewatinya begitu saja, namun, perasaan sara pagi itu, sudah porak poranda dengan pemikiran-pemikiran gilanya.
sejak hari itu, setiap kali berpapasan dengan si mbah, sara seperti terguncang, ia tidak bisa menutupi ketakutanya, namun, dari cara melihat si mbah, tampaknya beliau tau sesuatu dan itu, membuat sara tidak tenang.

ia seringkali merasa, mbah Tamin memperhatikan gerak geriknya.
tapi malam itu, Sugik, sopir yg mengantar mereka datang, ia berbicara empat mata dengan mbah Tamin, seakan ada sesuatu yg mendesak, wajah mbah Tamin tampak mengeras, sara begitu penasaran, namun kali ini, ia menahan diri

sampai akhirnya, pembicaraan itu selesai, si mbah mendekat
"aku bakal melok Sugik nang kediamane darmo, tolong, jogo omah iki, iling omonganku, yo ndok, mbah percoyo ambek awkmu, tetep lakonono tugasmu, iling yo, paling emben si mbah kaet muleh"

(saya akan pergi sama Sugik ke kediaman darmo, tolong jaga tempat ini, ingat ucapanku)
(lusa mungkin saya baru pulang)

sara mengangguk, lalu memanggil yg lainya, mereka semua menatap satu sama lain, ada keraguan di mata mereka bila mengingat kejadian sebelumnya, namun, tidak ada yg memprotes ucapan si mbah, karena takut, beliau akan marah lagi seperti sebelumnya.

Malam itu, ketika mbah Tamin sudah pergi, sara merasa ia harus memeriksa kamar beliau lagi, ia tahu, masih ada yg harus ia cari tahu, termasuk teka teki apa yg sebenarnya terjadi, mungkinkah keluarga darmo tidak tahu menahu perbuatan orang tua ini, sara menunggu waktu yg tepat.
sara menunggu surti dan tini terlelap, maka manakala ia sudah yakin, 2 temanya sudah tertidur, sara melangkah keluar dari ranjangnya, ia melangkah menuju kamar mbah Tamin yg hanya terpisah sekat antara kamar Dela yg memang tanpa pintu itu.

sejenak, sara menguatkan diri, lalu, masuk
ia membuka pintu, membiarkanya tetap terbuka, sementara ia mulai mencari dimana ia terakhir kali memeriksa benda keramat itu, anehnya, ia tidak menemukanya.

di cari dimanapun, sara tidak menemukanya, apakah si mbah membawanya, sara terdiam, berpikir, sampai, sesuatu melintas
sesuatu seperti baru saja melintas di belakangnya, melewati kamar mbah Tamin, sara melangkah memastikanya, ia tidak tahu menahu apa itu, tiba-tiba, mata sara tertuju pada isi dari ranjang mbah Tamin, ia menduga benda itu ada disana, maka, sara mulai perlahan membukanya.
sara membuka semuanya, namun, ia tidak menemukan benda itu juga disana, manakala sara masih berusaha mencari, terdengar suara pintu di tutup dari belakang, sara terhenyak sejenak, sebelum berbalik melihatnya.

sara terdiam, melihat Dela menatapnya dengan senyuman menyeringai.
"cah cilik wani men nggolek masalah" (masih anak kecil berani sekali cari masalah) kata Dela seraya tetap berdiri menahan pintu, kepalanya menggedek ke kiri dan kanan, seakan menertawakan sara yg tengah meringkuk, ketakutan.

"kok isok" (kok bisa) kata sara, ia tak kuasa gemetaran
"coba pikirno ndok" (coba pikirkan nak) kata Dela, "lapo wong tuwek situk iku, mbukak kerandaku trus gak nyancang aku, rupane, kanggo awakmu toh, menungso iku lucu kadang yo" (kenapa orang tua itu membuka keranda ini, lalu tidak mengikatku dengan benar, rupanya untuk kamu ya)
(manusia itu terkadang lucu ya)

sara terdiam, ia tiba-tiba berpikir, apa mbah Tamin sengaja membuka keranda itu, sial, harusnya sara berpikir bahwa kepergian beliau bukankah sesuatu yg aneh, namun untuk apa ia melepaskan makhluk ini.
Dela merangkak, ia mendekati sara yg sudah meringkuk, namun aneh, si Dela hanya melihat wajah sara sembari tetap tersenyum.

"awakmu gak bakal mati ndok, carane garai aku wegah njupuk nyowomu" (kamu tidak akan mati nak, caranya membuatku malas mengambil nyawamu)
"tak kandani nek koen kepingin eroh, onok opo nang kene,"
(saya kasih sesuatu bila kamu ingin tahu sesuatu, ada apa disini)

sara masih diam, ia tidak dapat berbicara banyak, ketakutan sudah memenuhi seluruh badanya.

"wet ringin nang etan, tata watu sebelah kidul, bukak'en isine"
(ada sebuah pohon beringin di timur tempat ini, cari sebuah batu tertata lalu buka isinya)

Dela berdiri, membuka pintu, lalu menutupnya lagi, sara yg masih terjebak dalam ketakutanya, perlahan berdiri, melihat Dela yg kembali tidur, tidak lupa ia menutup kerandanya, lalu ke kamar
pagi itu, seperti biasanya. tini dan surti sudah sibuk dengan kegiatanya sendiri, sementara sara, ia pamit untuk menghabiskan waktu di kamar, sara mengaku badanya tidak enak, namun yg sebenarnya terjadi, sara melangkah pergi, menuju tempat yg ia dengar dari sosok yg ia temui semalam.
menelusuri jalan dengan kabut masih tebal, kiri kanan pohon tumbuh tinggi dengan semak belukar di setiap sisinya, setiap langkah kaki sara terdengar gemerasak dedaunan yg berserakan dengan aroma tanah yg masih tercium sengak, sara terus berjalan ke timur, sampai, melihat pohon itu.
dari jauh, pohon itu tumbuh sendiri di antara semak belukar disekitarnya, ada tanah lapang yg terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri, begitu kelam, begitu menenggelamkan, anehnya, sara justru mendekatinya, seakan hatinya menuntun memanggil namanya.

ia harus melakukanya.
meski cahaya matahari sudah terang benderang, namun di bawah pohon ini, seakan cahaya itu tidak bisa menyentuhnya, kehitaman dari rimbunya dedaunan pohon beringin ini, menciutkan nyali sesiapapun yg ada di sekelilingnya.

sara menelusuri pohon besar itu, sampai ia menemukanya.
sara menemukan sebuah kuburan, dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yg familiar,

"Dela Atmojo"

butuh waktu, untuk memproses informasi itu, namun, sara mencoba menolak pikiran itu, "Dela sudah meninggal kah" batin sara terguncang, ia kini tersesat dalam bola pikiranya sendiri
entah apa yg sara pikirkan, ia langsung menggali tanah keras itu dengan jemarinya, manakala tanah itu mulai menyakiti jari jemarinya, sara mencari bebatuan untuk terus membongkar kuburan itu, ia merasa ada yg salah dengan kuburan ini, termasuk, ukuranya yg tidak terlalu besar
benar saja, apa yg sara lakukan tidak sia-sia, ia sampai di sebuah kotak kayu yg terbuat dari jati, sara mengeluarkanya darisana, membongkar penutup kotaknya, disana, ia menemukan sebuah boneka pasak Jagor seperti yg psurtih sara lihat, hanya saja, boneka yg ini, dililit rambut hitam
sara memeriksanya, rambut hitam itu panjang, melilit boneka, tepat ketika akan membukanya, tiba-tiba, terdengar suara tertawa cekikikan, yg membuat sara terdiam sejenak, memperhatikan sekitar, tidak ada siapapun disana. detik itu juga, sara meninggalkan tempat itu, membawa benda itu
ia menyembunyikan benda itu di almarinya, lalu melanjutkan tugasnya hari itu.

surti dan tini tidak ada yg curiga, karena ia melihat sara keluar dari kamar, mereka membersihkan sekitaran rumah, menyelesaikan tugas mereka sebelum malam datang.

mbah Tamin belum akan pulang hari ini.
Malam sudah datang, sara ada di dapur, ia barusaja melihat tini mengambil air, malam ini, tugasnya membasuh Dela di kamar, sedangkan sara memasak untuk esok hari.

surti ada di dalam kamar, sendirian, ketika tugas sara selesai, ia berniat pergi ke kamar, firastnya tiba2 memburuk
saat ia menuju ke kamar, sara berhenti sejenak, melihat tini yg membilas Dela, ia melihatnya membilas tubuh anak malang itu dengan telaten.

kemudian, ia lanjut ke kamarnya, disana, sara tercekat, melihat surti memegang boneka itu, tanganya, tengah melepas rambut hitam itu.
saat surti sudah melepaskan rambut yg melilit boneka, tiba2 terdengar suara tini berteriak yg spontan mengejutkan sara dan surti, mereka segera melihat apa yg terjadi.

belum sampai ke kamar Dela, tiba2 sesosok merangkak keluar, menatap sara dengan senyuman menyeringai,
Dela. pekik sara dan surti berbarengan.

sosok Dela melihat mereka sejenak, sebelum memuntahkan sesuatu di depan sara dan surti.

"telinga yg terpotong" kata sara tidak percaya, ia melihat tini menangis di kamar, memegang salah satu daun telinganya. sosok Dela kemudian pergi, keluar
sebelum Dela pergi keluar rumah, sara sepintas melihat di salah satu kaki Dela, masih ada satu ikatan tali hitam, apa yg membuat Dela bisa lepas dari ikatan itu.

tini masih menangis, sementara surti cuma bisa diam tidak mengerti, kini, mereka menatap hutan gelap itu darisana,
mereka harus bertanggung jawab, mencari Dela di tengah hutan ini, atau orang tua itu akan membunuh mereka bertiga saat ia kembali esok hari.
sara melangkah masuk ke dalam kamar, dimana, ia melihat tini masih menangis, menutupi salah satu daun telinganya, ia hanya terduduk

"Din" tanya sara, yg hanya di jawab tangisan penuh ketakutan, sara mendekat, melihat lebih jelas, apa yg terjadi. disana, ia melihatnya, telinganya-
telinga tini, benar-benar tampak robek dengan darah segar masih mengalir, tini kehilangan satu daun telinganya.

ketegangan semakin membuncah, manakala tini tiba-tiba berujar sebuah kalimat, yg sara yakini sebuah pesan "Sewu dinone cah ki, kari ngitung areng"
(sisa waktu seribu hari anak ini hanya tinggal menunggu bara api padam/ kiasan hitungan jawa : waktu)

sara bangkit dari tempatnya, lantas, melihat surti yg masih tampak shock, "ayok di goleki cah kui, pumpung rung adoh"
(ayo kita cari anak itu, mumpung belum jauh)
surti yg mendengar itu lantas langsung sadar dengan lamunanya, "he, golek cah iku, bengi ndedet ngene, gendeng koen" (apa, cari anak itu, malam petang seperti ini, gila ya kamu)

sara yg mendengar itu, mendekati surti, "awakmu gak paham ta posisine, yo opo nek wong tuwek iku eroh"
(kamu itu masih belum paham posisi kita ya, gimana kalau orang itu tahu)

sebelum surti menjawab pertanyaan itu, ia membanting boneka itu, kemudian bertanya dengan nada keras

"TEROS IKI OPO, SOPO SING NDUWE BARANG NGENE, AWAKMU KAN"
(LALU INI PUNYA SIAPA, SIAPA YG PUNYA)
(INI PUNYAMU KAN)

sara terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan surti, ia tidak tahu menahu, dan bilang memang karena benda itu semua ini terjadi, artinya, memang dia lah penyebab semua ini.

dengan setengah pasrah sara berucap. "jogo tini, biar tak cari cah iku"
(tolong jaga tini, biar aku yg cari anak itu)

sara mengambil satu lampu petromax yg tergantung dipawon (dapur) lantas ikut keluar, menembus kegelapan hutan yg sudah memanggil sedari tadi.
baru saja keluar, sara bisa merasakan hembusan angin dingin yg langsung menusuk tulang, berbekal lampu petromax di tangan, sara berlari entah kemana, mengikuti jalan setapak, berharap, ia masih bisa mengejar Dela yg bisa dimana saja, ia, tidak tahu, seluk beluk hutan ini.
sejauh mata memandang, hanya bayangan pohon, dan kabut tebal, yg sara seringkali temui, sisanya, hanya suara gemeresak kakinya menembus semak belukar yg terkadang menggores kulitnya.

selain itu, hembusan nafas sara lebih berat, karena ketakutan sudah menemaninya semenjak keluar
sudah tidak terhitung, berapa banyak ia melintasi pohon besar, mata sara awas melihat sekeliling, sementara tangan dan kakinya meraba apapun yg bisa ia pegang hanya agar ia tidak terjerembab pada tanah yg tidak rata, namun, sara masih belum menemukan tanda keberadaan Dela.
bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, mencari Dela di tengah kegelapan hutan seperti ini, berjalan dari satu tempat ke tempat lain rasanya mustahil, mustahil ia bisa menyisir keseluruhan hutan, sampai, sara merasa ia tahu dimana keberadaan gadis itu, semoga itu benar
sara bisa melihat tempat itu bahkan dari jauh.

bayangan hitam besar, rimbun itu, seakan tidak kehilangan kengerianya sedikitpun, meski kaki sara letih, menempuh jarak sejauh itu, ia mendekati pohon beringin itu, tempat dimana ia menemukan boneka itu.
terdengar suara langkah kaki sara yg menembus semak, kini, ia berdiri tepat di bawah pohon itu, melihat Dela yg seperti sudah menunggunya, ia hanya duduk, menggoyangkan kakinya, seakan tahu, sara akan menemukanya.
gerak tubuh Dela, membuat sara tidak nyaman, terkadang, ia menggedek kepalanya, seakan tulang lehernya tidak dapat menyangga isi kepalanya.

"wong tuwek iku, rupane gak goblok yo" (orang tua itu, rupanya tidak bodoh ya) kata Dela, "percuma, aku ra isok metu tekan alas iki"
(percuma saja, ternyata, aku tetap tidak dapat keluar dari hutan ini)

sara hanya diam, ia, juga bingung harus melakukan apa.

"wes cidek waktune, diluk engkas" (sudah dekat waktunya, sebentar lagi)
kalimat terakhir Dela seperti memberi isyarat tentang sesuatu.

"jek rong ngerti" (masih belum ngerti) "rambut sing di culi kancamu iku, mbok pikir opo" (rambut yg di lepas temanmu kamu pikir apa)

"rambut Dela" kata sara menebak.

sosok itu mengangguk, "teros"
mata sara terbelalak mendengarnya.

"mbok pikir aku sengojo mbujuk awakmu to" (kamu pikir saya sengaja menipumu kan) jek rong ngerti pisan (masih belum mengerti juga)

"surti" kata sara,

seketika itu, Dela tertawa, ia tidak psurtih melihat suara tertawa semengerikan itu
sara kmbali ke rumah tanpa Dela, langkah kakinya berat memikirkan kemungkinan yg sara pikirkan dari tadi, dan saat ia masuk ke rumah, ia bisa melihat genangan darah

sara mengikuti jejak darah itu, yg berakhir di kamar mereka, disana, ia melihat tini, menutupi wajah surti dengan kain
"surti mati sara, muntah getih" (surti meninggal sara, dia muntah darah)

sara bisa melihat wajah surti, hidung dan bibirnya, bersimbah darah, sama seperti patung yg surti banting, dimana di bagian kepala si patung. hancur, sekarang ia tahu penyebab sebenarnya santet ini.
sara akhirnya menjelaskan semua kepada tini, apa yg terjadi kepada surti, apa yg terjadi kepada Dela, apa yg di sembunyikan orang tua itu, apa yg tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.

semuanya, berujung pada pemindahan santet saja, karena mereka yg memiliki garis weton sama
sara mengambil boneka itu, menunjukkanya kepada tini.

"boneka iki, media kanggo nyantet Dela, dibulet rambute Dela ket awal, sopo sing wani mbukak rambut iki, kudu siap konsekuensi nompo santet'e Dela, masalahe, nek wong biasa seng bukak, mek nekakno nyowo dados"
(Boneka ini, media untuk mencelakai Dela, di ikat rambut Dela sejak awal, siapa yg berani membukanya harus siap menerima konsekuensi santetnya si Dela, masalahnya, bila orang biasa yg melakukanya hanya mendatangkan kematian belaka)
"bedo maneh nek sing mbukak wetone podo karo Dela, yo iku kene, sisok mateni kene, isok ngeringano santet e Dela, aku yakin, boneka iki, gak mek siji, isok onok telu sampe sepuluh, aku gak eroh Din, tapi surti wes dadi korban sawijine, kari awakmu karo aku"
(beda lagi bila yg membuka boneka ini satu garis weton dengan Dela, ya itu kita, bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela, aku yakin, bonekanya gak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh, aku tidak tahu. tapi, surti sudah menjadi korban salah satu bonekanya, tinggal kita)
"goblok'ku, aku ra ngerti surti bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukmane dee, nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane"
(bodohnya aku, aku tidak mengerti kalau akhirnya surti malah membanting bonekanya, yg sudah jadi pengganti penerimaan Santet itu, jadi bila boneka itu ikut rusak, dia juga akan menuntut balas akibat perbuatanya)

tini yg mendengar itu, hanya diam, wajahnya kebingungan.
Malam itu, mereka lalui dengan akhir yg tragis itu.

keesokan harinya, mobil Sugik datang, sara dan tini sudah menunggu mereka, mbah Tamin yg pertama keluar, di ikuti Sugik si sopir, ia menggendong Dela di punggungnya, dan tampaknya, mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.
yg tidak di ketahui mereka adalah, surti meninggal.

melihat hal itu, wajah mbah Tamin merah padam, ia tidak berbicara banyak, hanya mengatakan, mereka harus membawa surti pulang, kematian surti di luar perkiraan mbah Tamin.

namun, ketika sara ingin bertanya lebih jauh tentang ini,
mbah Tamin menatapnya dingin. "tutupen ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen" (tutup saja mulutmu, dasar bayi, tidak tahu apa-apa, seenaknya sendiri ambil resiko)
itu adalah kali terakhir sara keluar dari hutan itu.

tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediamanya mbah darmo.
sara dan tini duduk di luar rumah, di dalam, ia bisa melihat mbah darmo tampak berbicara serius dengan mbah Tamin, entah apa yg mereka bicarakan, namun sara tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja, namun, siapkah dia dengan konsekuensi bila ia memilih pamit.
seperti halnya dirinya, tini pun sama, bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yg mau menerimanya.

setelah menunggu lama, sara dan tini di panggil untuk menghadap mbah darmo.
sara dan tini melangkag masuk, ia di persilahkan duduk, memandang wanita yg selalu saja membuat sara merasa segan setiap melihat matanya.

"aku melok sedih ambek nasih kancamu ndok" (saya ikut sedih mendengar nasib temanmu) "tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane-
sing pantes diterimo" (tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yg memang pantasi dia dapatkan)

"sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku" (sekarang, katakan, apa yg ingin kamu bicarakan sama saya)

"kulo bade mundur mbah" (saya mau mundur)
mbah darmo memandang sara, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka.

suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi sara dan tini, sebelum, mbah darmo tersenyum.

"boleh" (bisa) "tapi, aku ra jamin nyowomu yo ndok" (tapi aku tidak mau menjamin nyawamu ya)
sara dan tini melihat satu sama lain, mereka tidak mengatakan apapun lagi.

"sak iki yo opo, mundur?" tanya mbah darmo, matanya mengintimidasi.

"mboten mbah" kata tini dan sara bersamaan.

mbah darmo mengangguk puas.
"asline, raperlu onok korban, nak podo nurut ambek si mbah, mek butuh norot tok ndok, opo angel, ngerungokne wong tuwo" (aslinya tidak perlu ada korban, kalau kalian mengikuti apa yg si mbah katakan, cuma butuh nurut saja. apa susahnya dengerin orang tua)

mbah Tamin, menatap sara
sara menyimpan sesuatu yg selama ini ia tahu, bahwa dalang di balik semua ini adalah si mbah Tamin sendiri, namun, sara masih merasa ia tidak memiliki bukti apapun, mata mbah Tamin seperti mengawasinya, tidak memberinya ruang leluasa untuk bicara dengan mbah darmo secara pribadi.
namun entah, bagaimana sekelebat pikiran itu muncul, sara lantas mengatakan apa yg ia temukan di kamar mbah Tamin, bahkan, sara menunjukkan boneka yg ia temukan di bawah pohon beringin, sebuah pesan dari cucunya Dela Atmojo.

mendengar itu, mbah darmo mengerutkan kening. ia, diam
mbah darmo memandang mbah Tamin yg sedari diam sembari berdiri, lalu, ia tertawa, cukup membuat tini dan sara tersentak, seakan ucapan sara hanya omong kosong.

lalu, mbah darmo mengatakanya. "koen rung cerito ta nang cah-cah iki, opo sing asline kedaden?" (kamu belum cerita-
ke anak-anak ini apa yg sebenarnya terjadi?) ucap mbah darmo tenang,

"kemeroh" (sok tau) kata mbah Tamin, beliau, mengambil sesuatu di sakunya, boneka yg sama, termasuk foto keluarga Atmojo, sara terlihat bingung. apa yg terjadi sebenarnya.
"tak ceritakno kabeh sak iki, rungokno, nanging, nek aku wes cerito, opo sing bakal kedaden nang koen-koen iki, ra isok di cabut, awakmu, kudu nurut yo"

(saya ceritakan semuanya, dengarkan, tapi, bila aku sudah cerita, apa yg akan terjadi sama kalian, tidak akan bisa di cabut-
lantas, kalian harus nurut ya)

"nurut sampe Dela isok selamet, utowo, nyowo koen koen, ra bakal selamet podo karo Dela" (nurut sampai Dela bisa selamat, atau, nyawa kalian-kalian tidak akan selamat, sama seperti Dela)

sara dan tini, masih diam, mendengarkan.
"Santet Sewu dino iku jenenge, santet gur mateni sak garis keluarga nganggo mateni sukmone tekan anak Ragil, keluarga Atmojo, wes nduwe musuh nang ndi nang ndi, dadi asal muasal kabeh iki, tekan lengahe aku, ngawasi keluarga iki, Dela, gak tak songko bakal dadi target santet iki"
(santet seribu hari itu namanya, santet yg bisa membunuh garis keluarga besar melalui sukma anak terakhir/ keturunan terakhir, keluarga Atmojo sebenarnya sudah memiliki musuh dimana-mana, jadi, asal mula semuanya bersal dari sini, saya sudah lengah mengawasi keluarga ini, saya-
tidak psurtih menduga sebelumnya bila Dela akan menjadi korban Santet model seperti ini, dikarenakan, Santet ini adalah santet untuk para pendosa yg juga akan menghabisi keluarga yg mengirim santet ini)

suara mbah Tamin terdengar keras, menahan dendam kesumat atas insiden ini.
"Media kanggo santet iki, macem2, salah sijine, gawe boneka sing di isi rambut sing kepingin di entekno keluargane, nasib'e Dela, sak iki, di tentuno nang ndi boneka iki sak iki"

(media yg di gunakan santet ini bermacam2, salah satunya, melalui boneka yg diisi rambut-
keluarga yg ingin di habisi, nasib Dela sekarang, ada di boneka ini sekarang)

"masalahe, aku ra isok nggolek nang ndi kae boneka iku di tandor"

(masalahnya, saya tidak tahu, dimana saja boneka itu di tanam)

"lan onok piro, aku gak eroh"

(dan ada berapa saya tidak tahu)
"boneka sing mok temoni, iku salah sijine boneka sing tau tak temokno nang omah iki" "aku sengojo nandor nang kunu, ben engkok, nek waktune, isok di gawe ngeringano beban lorohe Dela"
(boneka yg kamu temukan, adalah salah satu dari boneka yg saya temukan di rumah ini) (saya sengaja, menanam boneka itu disana, biar nanti, saat waktunya tepat, bisa di gunakan untuk meringankan beban sakit Dela)
"iling, ben bengi aku wes ngilingno awakmu, ojok mbukak lawang tapi awakmu jek nambeng" (ingat waktu saya mengingatkan kamu jangan membuka pintu, tapi kamu tidak mendengarkan)

"asline, keluarga sing ngirim santet iki, jek goleki Dela, soale, sak durunge Banarogo-
ketemu Sengarturih, Dela gak bakal isok mati"

(sebenarnya, keluarga yg mengirim santet ini, masih mencari dimana keberadaan Dela, itulah alasan kenapa saya menyembunyikanya disana, karena tempat itu, terlalu ramai untuk mencari keberadaan Dela. karena, Dela tidak akan bisa-
meninggal bila sang Banarogo, belum bertemu dengan Sengarturih, Dela belum bisa mati, secara otomatis, santet ini belum akan menghabisi keluarga Atmojo)

"sinten sengarturih niku?" (siapa sengarturih itu?)

"sing sak iki, tangi, nek Dela gak di cancang tali ireng iku"
(yg sekarang bisa bangun sewaktu-waktu, bila Dela tidak di ikat tali hitam itu)

"jadi?" tanya sara.

"kari ngenteni waktu, kanggo tekane Banarogo, nggoleki bojone Sengarturih sing onok nang awake Dela"
(tinggal menunggu waktu, datangnya Banarogo buat mencari isterinya-
Sengarturih yg ada di tubuh Dela saat ini, bila dia sudah menemukanya, keluarga Atmojo, sudah tamat!!)
bagi sara, apa yg baru saja di ucapkan oleh mbah Tamin persis seperti dongeng untuk anak kecil yg serba ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yg tidak dapat ia lihat, rasa seperti kenapa ada hal-hal yg tidak masuk akal seperti ini, namun, presepsi itu harus ia pertimbangkan lagi.
terutama, saat sara melihat wajah tini, ia menampilkan ekspresi ketakutan yg tidak psurtih ia saksikan sebelumnya, ibu dari 2 anak.

satu-satunya yg sara tuakan, meski usia mereka hanya terpaut 2 tahun, tini memilih menikah muda, hal itu, yg membawanya ke tempat ini.
ke tempat dimana, ia, harus meninggalkan 2 anaknya, membantu sang suami guna menutup kebutuhan dari buah kecil cinta mereka, tini, lebih memilih diam, sembari menutup luka di daun telinganya yg harus ia relakan, di bibir Dela, atau mungkin, Senggarturih.
setelah penjelasan mbah Tamin yg dirasa sara bahwa ada beberapa kecil bagian yg seakan tidak di ceritakan, membuat sara merasa, orang tua ini, memiliki tujuan tersendiri, tidak dapat ditebak, tidak dapat diterka, namun, sorot matanya, seakan memberitahu, ada rahasia yg ia tutupi.
"wes mari to ndok penjelasane, nek wes dirasa mari, ibuk pamit, engkok, ben Sugik sing ngeterno awakmu karo, nang Dela" (sudah selesaikan penjelasanya nak, kalau sudah, ibu mau pamit, nanti, biar Sugik yg mengantar kamu, ke tempat dimana Dela berada)

mbah darmo pergi,
mbah Tamin pun ikut undur diri, ia mengatakan bahwa setelah ini, apa yg mereka alami di rumah gubuk alas itu, masih belum ada apa-apanya, dengan apa yg akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung, mbah Tamin, punya rencana lain.
Sugik belum kembali, kabarnya, ia akan menjemput sore hari, sara masih belum tahu dimana Dela sekarang berada, yg jelas, Alas itu bukan tempat dimana Dela di sembunyikan lagi, entah tempat seperti apalagi, sara merasa, ia sedang di persiapkan untuk sesuatu, sesuatu yg lebih besar.
ketika sara sedang mempersiapkan perbekalan yg akan ia bawa, sara melihat tini berdiri di luar pintu kamar, tempat ia beristirahat sebentar sebelum perjalanan berikutnya, entah apa yg dilakukan tini, membuat sara akhirnya mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yg ingin ia sampaikan
wajah tini'pun tidak tertebak sama sekali, namun, setelah dirasa ia cukup menahan diri, tini berujar dengan suara gemetar.

"siji takan kene, sing bakal urip sampe iki mari, sara, sepurane nak aku bakal ngelakoni opo ae ben isok tetap urip"
(satu dari kita yg akan tetap bertahan hidup sampai semua ini selesai, saya minta maaf, saya akan melakukan apapun untuk tetap bertahan hidup)

ucapan tini, membuat sara kebingungan, apa yg ia ucapkan, darimana ia dengar, setelah sara mempertanyakan itu, tini menunjuk telinga cacat
ia berujar dengan nada yg lebih percaya diri.

"sak durunge kupingku pedot, Dela mbisiki aku, siji sing bakal selamet kanggo Kembang klitih"

(sebelum telingaku putus, Dela membisikkan sesuatu kepadaku, satu dari kita yg akan selamat untuk berbagi sari bunga dari sisa Santet ini)
sebuah mobil hitam yg sara kenal barusaja masuk ke kediaman Atomojo, Sugik melangkah keluar, sara dan tini pun melangkah masuk, setelah berpamitan dengan mbah darmo, Sugik pun mengantar sara dan tini, menuju tempat dimana Dela sekarang berada.

"aku melok berduka ambik kancamu sara, mbak Din" (aku ikut berduka ya sara, mbak Din) kata Sugik, ia tidak henti-hentinya memandang sara dan tini, yg sejak pertama mereka masuk, tidak ada interaksi diantara mereka, seakan memilih untuk diam bersama, hal itu, membuat canggung
benar dugaan sara sebelumnya, jalan yg mereka tempuh bukan jalan menuju alas itu, melainkan jalan menuju ke luar kota, menuju sebuah desa, karena ketika mobil masuk ke sebuah gapura, suasana sepi dari kehidupan Desa ketika malam, langsung menyambut mereka.
banyak rumah yg masih menggunakan gedek (bambu anyam) di samping kiri kanan, setiap jengkal rumah, saling berjauhan, dari dalam mobil, sara hanya bisa mengamati, bahwa tempat ini, tidak berbeda jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan, masalahnya, sara belum melihat satu-
manusia pun disini, seakan ini adalah sebuah Desa mati.

mobil masuk ke sebuah gang, dengan pemandangan yg sama, batu kerikil keras di sepanjang jalan, menambah kesan bahwa Desa ini pasti desa pinggiran, jauh darimana-mana, dan ketika mobil berhenti, saat itulah, sara melihatnya
mbah Tamin tengah berdiri di sebuah rumah, menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar, rumah dengan kayu jati menjadi corak bahan utama, sekana memberitahu sara ini adalah tempat yg ia janjikan.

mbah Tamin berdiri, di teras rumah, disampingnya, ada Dela.
hal yg membuat sara dan tini tidak bisa berhenti melihat hal itu, mereka seakan ngeri dengan pemandangan itu, Dela berdiri persis disamping mbah Tamin, senyumanya, menjadi pembuka dari sambutan yg tidak psurtih sara bayangkan.
Sugik melangkah keluar, membuka pintu mobil, sara dan tini, ikut keluar, meski dengan langkah ragu, mereka mendekati mbah Tamin dan Dela, yg sejak tadi, menatap kedatangan mereka.

"Mbak sara ya" kata Dela, suaranya layaknya seperti gadis muda lainya,
"Maturnuwun purun nerima kerjaan niki ngih mbak" (terimakasih sudah mau menerima pekerjaan ini)

sara hanya menyambut tangan Dela, ia masih bisa melihat luka borok, dan perut buncitnya, tidak ada yg berubah dari penampilan fisiknya yg membuat siapapun tidak akan sanggup melihatnya
setelah melihat sara dengan tatapan sumringahnya, Dela beralih pada tini, ia melakukan hal yg sama, sara hanya bingung, ia tidak psurtih melihat ini sebelumnya, apa yg membuat Dela yang ini, sangat berbeda dengan Dela yg selama ini, sara lihat.

mbah Tamin, hanya mengamati saja.
setelah berbasa-basi, mbah Tamin mempersilahkan sara dan tini masuk, didalam, sara langsung bisa merasakan bahwa rumah ini, jauh berbeda dari rumah gubuk itu, rumah disini, berkali2 lipat lebih besar, tentu dengan nuansa jawanya yg kental, meski begitu, sara merasa ngeri memasukinya
setiap ruangan di rumah, besarnya bukan maen, banyak lukisan dengan corak kental adat budaya jawa yg bisa sara saksikan langsung, namun, dari semua itu, ada satu lukisan yg menarik perhatian sara, sebuah lukisan yg familiar.

sara menatap lekat-lekat foto itu.
seorang wanita tengah berpose dengan sanggul, mengenakan kebaya, menatap lurus, ia tengah memegang jabang bayik.

yg membuat sara tidak bisa mengalihkan perhatianya adalah, jabang bayik di lukisan itu, memiliki 2 kepala.
"sara, kamarmu nang mburi, ayok tak tsurti" (sara kamarmu ada di belakang, sini, aku antar) kata mbah Tamin

sara baru menyadari, tini tidak ada di belakangnya, entah kemana, ia mengikuti mbah Tamin, menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.
Kamar sara hanya ruangan kecil, dengan beberapa perabot tua, ia tidak lagi sekamar dengan tini, hanya ada jendela yg di tutup oleh Gorden, disana, mbah Tamin mengatakanya.

"nek wes jam 12, lawang kamarmu ojok lali di tutup, ojok sampe mok bukak yo, pesenku iku tok"
(kalau sudah jam 12, pintu kamarmu jangan di buka, jangan sampai kamu membukanya, ingat pesanku ini) tegas mbah Tamin, lalu ia pergi.
sara membuka gorden di jendelanya, ia bisa merasakan, bahwa keberadaanya disini, tidak ada bedanya dengan keberadaanya di alas itu, entah kenapa, tempat ini sama saja, seperti memintanya menguak apa yg ada disini.

sebelum, ia melihat Dela, barusaja melewati kamarnya, menatapnya
lalu menghilang, dengan senyuman yg memancing keingintahuan.
sara sudah mengunci pintu kamar dan jendelanya, kini, ia berbaring di atas kasur tua, yg setiap ia bergerak mengeluarkan suara tidak mengenakan.

hanya dengan menatap cahaya lilin di meja, sara merasa ia aman, selebihnya, ia terjaga, tidak bisa tidur dengan pertanyaan dipikiranya
waktu terasa begitu lambat, setiap ketukan detik yg sara bayangkan terasa mengambang dalam sepi di kamar itu, lalu, terdengar suara lirih,

suara yg membuat sara merasa tidak sendiri lagi, suara itu, terdengar dari luar kamar.

"Mbaaak saraii, mbaaak, iki aku Dela"
mendengar itu, sara langsung tercekat, entah apa itu, suara itu seakan mengancamnya

"Mbak sampun tilem, niki aku Dela mbak, di bukak lawange mbak" (Mbaknya sudah tidur, ini aku Dela mbak, di buka dulu pntunya mbak)

sara masih diam, ia mencoba menahan diri, suara itu, menganggunya
"Mbak sarai, aku loh eroh nek sampean jek melek, di bukak dilek nggih mbak, engkok, tak keki'i panuturan" (Mbak sara, saya tau kamu masih terjaga, dibuka dulu pintunya, nanti, saya kasih tahu rahasia)

kaki sara, mulai melangkah turun, ia bernjak dari tempatnya, namun, ia masih ragu
sara belum menjawab, ia masih diam, membiarkanya ditelan sunyi, di obrak-abrik sepi, sampai, keheningan itu menguasai.

senyap. suasana saat itu sangat senyap, namun, perasaan itu, seakan menekan sara dalam kegilaan dan rasa penasaran yg saling melahap satu sama lain. sara gila.
benar saja, keheningan itu membuat sebagian pikiran sara tertekan, hingga, sara merasa, bahwa Dela telah pergi.

sara mencoba untuk menenangkan diri, ia terduduk dengan kaki yg sudah lemas, namun, tiba-tiba.

"BRAKK!!" pintu kamar sara, di hantam oleh sesuatu yg sangat keras,
setelah gebrakan itu, suara tertawa yg psurtih sara dengar itu muncul.

"cah GOBLOK, nyowomu iku sampe sepiro seh, tak kandani, jumat kliwon, pikirno iku yo ndok, PIKIRNO OMONGANKU!!"

(anak Bodoh, nyawamu itu sampe mana sih, tak kasih tahu, jumat kliwon, pikirkan itu, PIKIRKAN!!)
sara hanya meringkuk, ia tidak mau menjawab siapapun itu, lalu, "sara, nek kate tilem, liline di pateni yo" (sara, kalau sudah mau tidur, lilinya, dimatikan dulu ya)

saat itu juga, lilin itu mati dengan sendirinya. kegelapan itu, menenggelamkan sara dalam tangisan ketakutan tergila
"Dela yo marani awakmu mambengi" (Dela juga datangin kamu semalam) tanya tini, ia tengah sibuk membasuh baju disumur belakang, sara yg baru tiba, hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya

"nek wes bengi, Dela kumat, jare mbah, ngunu"
(kalau malam tiba, Dela kumat kata si mbah)
"si mbah sing ndudui awakmu" (si mbah yg kasih tau kamu)

"iyo" "awakmu gak didudui ngunu" (emangnya kamu gak dikasih tau)

sara tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya melihat air mengalir, yg ada di hadapanya. "Jumat kliwon" kata sara tiba-tiba, tini mengangguk

rupanya, ia tahu
siang itu, si mbah memanggil sara dan tini, mereka melihat Dela yg tengah duduk sendirian, ia seperti sibuk dengan dunianya sendiri.

"Dela lahir nang kene, mangkane, gak tak perlakokno koyo nang alas kui, nang kene, wes tak pasang payung penduso nang ben sudut omah"
(Dela lahir diisni, makanya, saya tidak perlakukan dia seperti saat tinggal di hutan, setiap sudut rumah ini sudah saya pasang payung untuk orang meninggal, jadi, jangan khawatir"

mbah Tamin, menyesap rokok, menghembuskanya perlahan, "masalahe sak iki nang kene"
(masalahnya, sekarang disini)

"mene, kamis legi, aku arep jalok tolong nang awakmu, tini, tolong, golekono, nang ndi Pepetane disingitno, isok"

(besok, kamis legi, saya mau minta tolong, bisa kamu caritahu dimana jimat itu disimpan)

"jimat sing kanggo nyantet Dela"
benar. di malam itu, sara dan tini, masuk ke kamar si mbah, disana ia bisa melihat banyak tergantung kepala kerbau yg dipasang di tembok, selain itu, kamar mbah Tamin banyak dihiasi kain merah, bau kemenyan tercium sampai menusuk hidung. mbah Tamin, kemudian melangkah masuk.
ia menyuruh tini duduk didepanya, membiarkan sara berada di samping tini, "awakmu bakal ndelok kebon tebu, golekono wong sing mok temoni nang kunu, tutno, nang ndi wong iku engkok longgoh"
(nanti, kamu akan melihat kebun tebu, disana ada orang, cari dan ikuti dia, sampai ia duduk disebuah tempat)

mbah Tamin kemudian meminta tini meminum air degan hijau, memijat-mijat kepalanya, sambil mengusap asap kemenyan, ia lalu menghantam kepala tini dengan telapak tangan,
"sara, tolong jogo tini, mbah kate metu" (sara tolong jaga tini, si mbah, mau keluar dulu)

mbah Tamin pergi, sementara tini, tersungkur pingsan, di dahinya, ia terus berkeringat, berkali-kali, ia tampak seperti orang yg meracau, mengatakan sesuatu seperti "peteng" (gelap)
namun, sara telaten, membersihkan keringat tini, ia juga membantu tini agar bisa tidur dengan posisi yg benar. ia terus menjaga tini sepanjang malam, si mbah, tidak juga kembali, semakin malam, tini semakin kacau, ia menjerit, seperti tengah berlari, nafasnya terengah-engah.
yg membuat sara tersentak ketika tini mengatakan "Pak' e ndelok, pak 'e ndelok!! aku dikejar, aku dikejar!!" (bapaknya melihat saya, bapaknya sudah melihat, saya dikejar, saya dikejar)

badan tini, tiba-tiba panas, panas sekali. sara mulai khawatir, namun ia bingung, harus apa
tidak beberapa lama, mbah Tamin kembali, ia hanya menepuk bahu tini, dan ia langsung bangun, wajahnya tampak kaget, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan saat melihat mbah Tamin melotot, seakan menahan bahwa ia tidak boleh mengatakanya disini.
mbh Tamin dan tini keluar, sara tidak mengerti, kenapa si mbah seakan menghindarinya

setelah menunggu, si mbah memanggil sara, menyuruhnya agar kembali ke kamar, perjalanan ke kamar sara, melewati sebuah kamar tanpa pintu, disana, ada Dela melihatnya, ia hanya tersenyum menatap sara
hal terakhir yg sara ingat saat melihat Dela adalah, ia seakan memberitahu, bahwa akhir dari semuanya, adalah rumah ini.

Rumah, yg akan sara ingat sampai akhir nanti.
sara menutup pintu, menguncinya, ia terlalu lelah malam ini. apa yg ia lihat, ingin ia lupakan dalam tidurnya.

saat sara memejamkan mata.

seseorang membelai rambutnya. memakasanya untuk melihat sesiapa yg tengah menganggu tidurnya.

"Dela" kata sara saat melihatnya.
"kok isok" (bagaimana bisa)

"aku, ket mau nang jeroh kamarmu loh sara, nang nisor bayangmu, wong tuwek iku, gak goleki aku kan"

(aku dari tadi sebenarnya ada di dalam kamarmu loh sara, tepatnya di bawah ranjangmu, apa orang tua itu masih mencari saya)
"aku jalok tolong, sak iki, nyowomu nang tangane wong tuwek iku, nek awakmu nuruti aku, awakmu isok selamet, lan tak duduhi perkara masalahe, awakmu percoyo ambek aku ndok"

(aku minta tolong, sekarang, nyawamu ada di tangan si mbah, kalau kamu menuruti apa kata saya-
-kamu akan selamat, dan tak kasih tahu sumber masalahnya, kamu percaya sama saya kan)

"tolong opo" tanya sara ragu. ia masih ingat bagaimana ia melakukan kesalahan fatal itu.

"obongen payung pendusan iku gawe aku" (bakar payung orang meninggal itu, untuk saya)
Dela melangkah pergi, ia memberikan tatapan terakhir kepada sara, seakan yakin, sara akan melakukannya

Malam, semakin larut, sara melihat sebuah mobil datang, Sugik. ucap sara mengawasi dari jendela, mbah Tamin dan tini, melangkah masuk ke dalam mobil, mereka pergi dari kediaman ini
sara hanya membatin, kemana mereka pergi, dan kenapa ia tidak diajak pergi, semua ini tiba-tiba mengingatkannya pada pesan Dela, nyawanya ada di tangan, si mbah

meski ragu, sara membuka pintu, ia melihat Dela, tersenyum, berdiri didepan kamar, seakan, sudah menungguinya.
sara dan Dela menyusuri rumah, ia pergi ke dapur, mencari korek dan minyak tanah, kemudian, mulai berjalan ditengah kegelapan malam

Bulan sedang tidak menampakkan diri, sara berdiri, disudut sebuah pagar, disana, ada sebuah payung kecil berwarna hijau, "payung penduso" ucap sara
"bakar kabeh payung iki, onok pitu payung nang lemah iki, percoyo ambek aku" (bakar semua payung ini, ada 7 payung diatas tanah ini, percaya sama saya)

sara menyiram payung itu, membakarnya, setiap kobaran api yang menyala-nyala, Dela tertawa melihatnya, ia seperti menari-nari
sara seperti ikut dalam setiap bisikan Dela ketika ia menunjuk dimana saja, payung itu disembunyikan, dan setiap satu payung terbakar, Dela menari-nari, merentangkan tangan, tertawa begitu senang, sampai, sara menatap, payung terakhir

payung itu, terletak tepat didepan lukisan itu
sara berhenti, ia melihat lagi lukisan itu, memperhatikan setiap detail siapa yang dilukis dalam balutan palet warna yg seakan familiar di mata sara, apa maksud lukisan itu, seakan ia, mengenal siapa yg ada dalam lukisan

sampai, sara baru memahami sesuatu, namun Dela tiba2 berbisik
"kok ragu sara"

Dela melihat sara, mengawasinya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, tatapannya, membuat sara merinding, ia masih tersenyum, memaksa sara melakukannya

"wes sadar yo, sopo aku" (sudah sadar ya, siapa saya)

sara beringsut mundur, namun, Dela terus mendekatinya
sara langsung berlari, sementara Dela hanya melihatnya begitu saja, ia tidak tahu apa2, tidak sampai ia yakin sekarang, ia mengerti semuanya

kenapa ia bisa sampai ada disini, siapa Sengarturih dan Banarogo yg sebenarnya, dan tempat ini, semua ini adalah?!

sara tersandung, jatuh
sara merangkak, lantas, ia kemudian bersembunyi

Dela barusaja datang, suara langkah kakinya, bayanganya ketika melewatinya, seakan membuat sara hampir kehilangan akalnya, sara terus diam, Dela tidak akan tahu dimana ia berada

sebelum, "sara"

Dela menarik rambut sara, mencengkramnya
sara melawan sebisanya, namun, ia tidak bisa menghadapi bala kekuatan yg entah darimana datangnya, Dela seperti orang kesurupan, caranya menghantam wajah sara dengan telapak tanganya, membuat wajah sara babak belur, bahkan, ia menginjak wajah sara dengan kakinya
Dela terus berteriak meminta sara menyelesaikan tugasnya, ia harus menyelesaikannya, tidak boleh tidak, disini, sara menyadari sesuatu, lagi

Sewu dino sudah semakin dekat,

artinya, tidak ada kesempatan lagi untuk membuang-buang waktu,
sampai, terdengar suara mobil datang, Dela dan sara terdiam, manakala, ada seseorang datang mendekat

langkahnya pelan, ia menyusuri ruangan, kemudian, menampakkan dirinya didepan sara dan Dela
mbah darmo melihat sara, tatapannya kecewa, lalu, ia mendelik melihat Dela, yang entah bagaimana, langsung duduk bersimpuh di depan mbah darmo,

ia, membelai rambut Dela, seakan dia adalah binatang peliharaannya,

"wes ngerti yo nduk awakmu" (rupannya kamu sudah mengerti ya)
"terno sara nang kamare" (antarkan sara ke kamarnya) kata mbah darmo, orang yg berdiri dibelakangnya, membawa ikut sara,

ia hanya bisa melihat, mbah darmo yg masih menatapnya, Dela, hanya melirik sara dengan tatapan penuh ancaman, seakan ia, belum selesai dengan semuanya
seseorang mengetuk pintu kamar, lalu membukanya, sara melihat wanita tua anggun itu, tidak ada segan lagi untuknya, sara justru merasa kesal setiap melihat tatapan matanya yg terbungkus kaca mata tebal menggerikan itu,

"sara, bantu mbah nggih" (sara, tolong, bantu saya)
"jumat kliwon, guk lahir e Dela ta mbah, tapi weton lahire sing nyantet putune njenengan, opo aku salah mbah"

(Jumat kliwon, bukanlah hari lahir Dela, tetapi hari lahir dari orang yg menyantet cucu anda, apa saya salah mbah)

mbah darmo mengangguk, ia mengakuinya
"njenengan pingin tiange sedo, ngelalon kulo ambek tini" (anda ingin mengakhiri nyawa dia melalui saya dan tini)

mbah darmo mengangguk lagi,

sara tidak tahu harus bilang apalagi, namun kemudian, sebelum tangisanya meledak, mbah darmo membisikkan sesuatu,

"tolong" lalu pergi
pagi itu, mbah Tamin dan tini sudah kembali,

seseorang memanggil sara dari dalam kamar, ia melihat mbah darmo duduk bersama Dela, ditengah meja, sara melihat kotak itu, lagi

lantas, tini mulai membukanya, dari dalam, tini mengeluarkannya, "Pasak jagor"

semua orang menatap sara
pasak Jagor, boneka yg sara lihat, nyaris sama persis, jadi, mbah Tamin dan tini, semalaman mencari benda ini, di badan boneka, ada lilitan rambut kusut yang sama persis seperti sara lihat, mengingatkannya pada surti.

"engkok bengi, kabeh mari nang kene"
(nanti malam, kita akhiri)
Dela mendekati sara, ia menatap sara seakan ingin tahu, tatapanya lebih lembut, ia berucap dengan suara lirih

"matur nuwun nggih mbak, gak bakal tak lalino jasane sampeyan" (terimakasih ya kak, saya gak akan psurtih lupa jasa kamu)

sara hanya mengangguk, ia sudah tidak perduli
setelah memotong rambut sara dan tini, mbah Tamin, mengikat rambut itu pada boneka, di belakang rumah, ia sudah memutari 3 lubang galian itu, tempat Dela, sara dan tini terduduk didalamnya

mbah Tamin, duduk, menyirami boneka itu dengan air, sementara bau kemenyan semakin menyengat
tangan dan kaki mereka diikat dengan ranting muda daun kelor, sehingga ketiga-tiganya, tidak ada yg bisa bergerak, hanya pasrah di dalam setiap lubang yg sudah di gali untuk mereka semuanya,

mbah Tamin, perlahan, mencabut satu persatu rambut itu.
terdengar sebuah suara yg tidak asing, sebuah kerbau meraung, sara yg sudah terjebak dalam lubang, tidak tahu apa yg terjadi, karena setelah suara itu hilang, ia mendengar Dela dan tini menjerit, lalu, hening..

hening..

sesuatu baru saja membasahi tubuh sara, baunya amis, darah
darah kental itu, membuat sara merasa tidak nyaman, tanpa sadar, ketakutan sudah merasukinya, ia tersenggal, karena di dalam lubang itu, sara kesulitan untuk bergerak,

tiba-tiba, tini berteriak lagi, kali ini, ia meronta dari suaranya, seperti ia tengah disiksa
suara tini, lalu, suara Dela, suara mereka saling bersahutan satu sama lain, sara yg tidak bisa melihat apa yg terjadi, hanya bisa gemetar, menahan ketakutan yg semakin menguasainya, mbah Tamin, sedang membalas perbuatan si pengirim santet,

lalu, sara merasakan tubuhnya mati rasa
rasanya, seperti terjebak dalam keadaan tidak sadar, seakan sara tidak lagi bisa merasakan apapun, namun, rupanya, itu hanya awalnya saja, sebelum, rasa sakit seakan merobek-robek daging di tubuhnya

sara berkelakar, itu adalah rasa sakit terhebat yg psurtih ia rasakan
suara sara menggelegar, mereka sama-sama berteriak, namun, ada suara lain yg ia dengar, suara seorang lelaki, ia tidak hanya berteriak, ia mencaci maki dengan suaranya yg gemetaran, suara asing yg tidak di ketahui darimana datangnya

suara si pengirim santet
kesakitan itu benar, membuat sara tidak tahu seperti apa ia harus menggambarkanya, karena setelah sentakan itu, nyawanya seperti di tarik, saat itulah, sara yakin melihatnya, Dela, selama ini, menggendong seorang wanita, ia memiliki perut buncit, hanya saja, sosok itu, tak berkaki
selama itu juga, sara melihatnya lagi, selama Dela dikurung dalam keranda bambu kuning, sosok wanita itu, mendampinginya, menjilati borok dan luka biru Dela dengan lidah panjangnya yg selama ini sara lihat seperti penyakit menjijikkan, dan sosok itu, melotot melihat sara
lalu, sara melihatnya, sosok yg datang bertamu pada malam itu rupanya, adalah seorang lelaki, sara tidak mengenal siapa lelaki itu, hanya saja, si lelaki mengacak-acak kamar si mbah, namun tampaknya ia tidak mendapatkan benda yg ia cari, lalu ia mengambil kain hitam itu, menukarnya
ia hanya meninggalkan sebuah patek "peti mati" bertuliskan Atmojo, lalu pergi begitu saja

lingkaran itu seperti berputar, sara menyadarinya, kini, mereka terikat satu sama lain, Santet sewu dino, sebenarnya adalah Santet yg tersambung satu sama lain

nyawa dibayar nyawa
lelaki itu, ia memiliki sesuatu yg sama seperti Dela, kembar, hanya saja, ia senantiasa berjalan di belakangnya, kakinya panjang nyaris 2 kali tinggi si lelaki, ia terus menerus mengikutinya,

"Banarogo"

sara terbangun, dengan kaki lumpuh, ia melihat mbah Tamin, menatapnya
didepanya, Dela berdiri, meski berlumuran darah yg sama seperti sara, Dela menatapnya, ia membungkuk berterimakasih, tini, hanya duduk, matanya kosong, mereka semua sama, berbagi rasa sakit, namun tidak bagi si pengirim santet, mungkin ia, sudah tewas saat ini.
mbah darmo mendekati sara, memberinya handuk untuk membersihkan badannya, iya ikut menuntun sara, membasuhnya dengan air, lalu mengantarkanya ke kamar, ia butuh istirahat, sampai tubuhnya, pulih kembali
sara hanya diam saja, ia terus mendengar mbah darmo bahwa si pengirim pantas mendapatkanya, atas perbuatanya selama ini terhadap keluarganya,

bahkan, mbah darmo sudah berjanji, sara akan mendapatkan sesuatu yg pantas, uang, bukan masalah baginya
setelah, mbah darmo selesai memandikan sara, ia mengantarkanya di kamar, untuk terakhir kalinya, mereka saling melihat satu sama lain, sebelum akhirnya, mbah darmo bersiap untuk pamit pergi, namun sara, mengatakanya

"sing asline jahat, iku dee opo njenengan mbah"
(yang sebenarnya jahat disini, dia apa anda mbah?)

ucapan itu, membuat mbah darmo menghentikan langkahnya, tanganya yg tengah membuka pintu, kembali menutupnya, senyuman yg tadi terpancar di wajahnya, kini, kian pudar menatap wajah sara yg penasaran
mbah darmo lantas kembali duduk, ia menatap wajah sara, mereka saling menantang satu sama lain.

"tau krungu gak sara, pribahasa, gak eroh iku ngunu berkah tekan pangeran" (kamu psurtih dengar, pribahasa, ketidaktahuan adalah berkah dari tuhan)

sara yg mendengarnya, menegang
"Kuncoro, opo iku keluarga sing njenengan babat, sampe meniko wani gawe awake dewe nganggo mbales keluarga njenengan" (Kuncoro, apakah itu nama keluarga yg semuaya sudah anda habisi, dan untuk membalasnya, ia sampai rela menggadaikan nyawanya biar keluarga anda menerima balasan)
mbah darmo menatap sara, ia tersenyum, sudut bibirnya seakan memuji dan memberi pujian betapa sara pintar dalam menghubungkan semua ini, hanya dengan, mengikat batin, antara sara dan Kuncoro, sara langsung tahu semuanya.

"teros" (lalu?) kata mbah darmo menunggu, kejutan lain..
"Sengarturih lan Banarogoh iku ngunu ingu-inguan njenengan, sing njenengan gawe mbabat nyowo keluarga Kuncoro, tapi, keturunane sing ragil, nyekel Banarogoh ben Sengarturih isok nyikso Dela, gantine, dee sing nerimo duso iki"
(Sengarturih dan Banarogoh adalah peliharaan anda, yang anda jadikan alat untuk menghabisi semua keluarga Kuncoro, tapi rupanya, keturunan terakhirnya, bisa menangkap Banarogoh, menggunakanya, agar Sengarturih bisa menyiksa Dela, sebagai gantinya, ia yg menerima semua dosanya)
mbah darmo tersenyum, lalu tertawa, ia terhibur dengan semua ucapan sara, lantas, ia bertanya.

"mati nang kene, opo nang omah ndok?"
(kamu mau mati disini, apa kalau sudah sampai di rumah)
sara hanya diam, ia tidak mengatakan apapun lagi

"koen bakal tetep urip kok nduk, mbah wes yakin, koen iku sing paling bedo ambek liyane, nyowomu gak onok regane gawe aku, nanging, ojok sampe onok sing eroh sak durunge mbah sedo, ngerti ndok"
(kamu, akan tetap hidup, mbah sudah yakin, sedari awal, kamu yg paling berbeda dibandingkan yang lain, nyawamu tidak ada harganya bagiku, tapi, jangan ceritakan kepada siapapun, sebelum, saya meninggal, mengerti)
"kabeh menungso iku ra isok di tebak yo nduk, jahat gak jahat, menungso nduwe dalapatur, sing gak isok rumongso mok gerabak sak enake, sak iki, awakmu, jek melok aku opo igak?"
(semua manusia itu sama, tidak tertebak, berkata ia jahat atau tidak, tetap saja manusia punya tujuanya sendiri yang tidak akan bisa kamu jangkau seenaknya saja, sekarang, saya tanya, kamu, masih mau ikut saya atau tidak?) tanya mbah darmo, ia menunggu jawaban
"mboten, kulo pamit mantok mawon mbah"
(tidak, saya mau pamit pulang saja)

mbah darmo tampak mengerti, lantas, ia memanggil Sugik, membopong badan sara yg masih lemas, membawanya menuju ke mobil, sekilas, ia melihat sorot mata mbah Tamin, ia tersenyum, seakan tahu apa yg terjadi
sebelum masuk ke mobil, Dela menghentikanya, meminta agar sara tetap bekerja disini, berapapun bayaranya, namun, sara menolak, ia menatap mbah darmo tajam, membuat ia mengatakanya

"wes ta lah, engkok golek maneh sing luwih pinter"

(sudahlah, nanti cari lagi, yg lebih pintar)
sara juga melihat tini, ia hanya duduk memandangnya, seakan menegaskan bahwa ia akan bertahan disini, sara tidak punya hak memintanya keluar, terlepas apakah ia juga tahu apa yg sebenarnya terjadi dibalik semua peristiwa ini

Sugik, menutup pintu mobil, membiarkan sara beristirahat
mobil perlahan meninggalkan kediaman Atmojo, Sugik terus membawa sara menuju perjalanan pulang, namun, tiba-tiba, ia menghentikan mobil, disamping sebuah tebing,

ia keluar dari mobil, mengeluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya, lantas ia bertanya pada sara, yg kebingungan
"sara, awakmu wes ngerti kan, sak iki, sopo iku Atmojo"
(sara, sekarang, kamu mengerti kan siapa keluarga Atmojo)

sara mengangguk,

"tapi opo awakmu yo ngerti sopo iku keluarga Kuncoro"
(tapi apa kamu mengerti siapa itu keluarga Kuncoro)

sara terdiam memandang Sugik,

"aku ngerti"
"aku biyen kerjo nang keluarga Kuncoro, sak durunge, keluarga iku wani nentang Atmojo, aku eroh kabeh, yo opo, siji gal siji, keluarga iku mati, loro kabeh, sampe onok sing bunuh diri, tapi, sing gak di erohi ambek keluarga kuncoro iku"
(dulu, aku bekerja di keluarga Kuncoro, sebelum keluarga itu berani menentang keluarga Atmojo, saya tahu semuanya, bagaimana keluarga itu di bantai satu persatu dengan penyakit yg aneh, sampai ada yang bunuh diri, tapi ada yg tidak di ketahui oleh keluarga Kuncoro"

Sugik diam,
"aku sing nandur Pasak jagor nang omahe keluarga Kuncoro, aku sing berkhianat nang keluarga iki, aku wedi sara, sampe sak iki, nek iling iku, aku kudu nangis"

(aku yg menanam Pasak Jagor di rumah keluarga Kuncoro, aku yg berkhianat pada keluarga ini, aku takut sara)
(bila ingat itu saya ingin menangis rasanya)

"mbah Tamin sing mekso, nek igak, anak bojoku bakal nerimo kirimane" (mbah Tamin yg memaksaku, bila tidak, anak isteriku yg akan menerima kiriman dari beliau)

sara tidak habis pikir, sekarang, kepingan puzle itu selesai sudah.
itu adalah kali terakhir sara berhubungan dengan keluarga Atmojo, sudah sebulan lebih ia tidak mendapatkan kabar itu lagi, sampai, di suatu pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu.

bapak pergi keluar untuk memeriksa, namun, ia tidak kunjung kembali. sara pun pergi memeriksanya
ia mendapati bapak memegang sebuah kresk hitam besar, mata bapak melotot kaget, melihat isi kresek itu, ketika sara merebutnya, ia langsung tahu apa itu.

Uang,

Uang yg memenuhi kantung kresek itu, barusaja di tinggalkan atau sengaja di tinggalkan di rumah ini..
melihat itu, sara lantas membawa uang itu, bapak coba menghentikan sara namun, sara keras kepala, ia membuangnya ke pembuangan sampah, mengatakan kepada bapak agar tidak mengambilnya lagi, bila tidak ingin, ia terjerat lagi dalam lingkaran keluarga Atmojo.

Jumat, 03 Januari 2020

LEMAH LAYAT ( TANAH TUMBAL )




suara motor dan angkot bersahut-sahutan, tidak ada yg mau mengalah, dari kursi penumpang angkot biru laut, dua lelaki paruh baya menatap jalanan, ekspresi wajah mereka khawatir. "jancuk" sahut salah seorang dari mereka, "isok telat iki" (bisa terlambat ini)

lelaki yg satunya menoleh, ia mengkerutkan dahi, menatap kawannya, "mbok pikir koen tok sing gopoh" (kamu kira, cuma kamu seorang yg khawatir)

"halah" "wes mlayu ae, gak nutut iki nek nuruti ngene iki" (lari saja yuk, gak sempat ini kalau kita nungguin ini)

mereka sepakat,

lantas, mereka melompat dari dalam angkot, mulai berlari menuju jalanan stasiunt, berjibaku dengan orang lalu lalang, mereka abaikan keringat didahi, menembus lautan orang yg sibuk dengan urusan mereka masing2, satu yg mereka harus tuju, kereta yg akan membawa mereka pergi.

"goblok koen Gus, mene nek kate onok urusan, ojok tambah ngejak maen gaplek" (bodoh kamu gus, kalau besok ada urusan seharusnya gak kamu ajak aku maen gaplek)

Agus, lelaki gondrong dengan kumis tipis itu tertawa sembari menghela nafas panjang, ia merasa geli atas apa yg terjadi

"Halah. nyocot! sing penting kan menang, oleh duwek akeh" (bacot, yang penting kemarin menang kan, dapat duit banyak) ucap Agus, gemas, ia jitak kepala Ruslan, kawan yg akan menemaninya

sebelumnya, Agus dan Ruslan setuju, daripada nganggur, lebih baik mereka ikut kawan,

meski hanya sebagai kuli bantuan, tapi setidaknya, darisana mungkin hidup mereka akan berubah, tidak lagi harus mendengar kiri kanan tetangga yang mengecap mereka sebagai pengangguran yg gak punya masa depan. kereta melaju, jauh. meninggalkan kota kelahiran Agus,

disini, kehidupan baru bagi Agus dan Ruslan, akan dimulai.

Agus yg pertama turun, diikuti Ruslan, mereka melihat sekeliling, harusnya, kawan mereka akan menjemput di stasiunt ini, namun, ia hanya melihat orang lalu lalang, tidak ada tanda kawan mereka

"asu arek iki Gus, dibelani adoh2 gak disusul" (anj*ng, anak ini, dibelain jauh2 eh,

-gak dijemput)

Agus mengangguk setuju, lantas, ia duduk, mengeluarkan sebatang rokok yg ia simpan di kantung celana, sial. gumamnya, hidupnya sulit, sebatang rokok yg bengkok pun, terpaksa ia hisap, kini, jadi kuli terdengar masuk akal baginya, seenggaknya, ia bisa makan nasi lg

Ruslan hanya melihat orang2, lebih tepatnya, melihat perempuan2 cantik yg lalu lalang, tidak ada rokok untuknya, jadi, daripada melamun, Ruslan tahu bagaimana memaksimalkan kemampuannya untuk menikmati pemandangan

tak beberapa lama, terdengar suara teriakan familiar, ia datang

"ayok"

Agus dan Ruslan mengikuti. "numpak opo iki" (naik apa kita) ucap Ruslan,

"numpak bis lah, iki jek adoh ambek nggone" (naik bus lah, ini tempatnya masih jauh soalnya)

Agus tidak banyak komentar, ia sudah diberitahu, kerjaan mereka tidak jauh dari kuli untuk bendungan

disepanjang perjalanan, Agus hanya melihat jalanan, mereka menaiki Bus antar kota, menjelaskan setidaknya kemana mereka akan pergi.

Koco, kawan yg mereka kenal dari warung kopi memang tidak banyak memberitahu soal pekerjaan ini, kecuali mereka butuh tenaga tambahan,

bahkan, Koco tidak memberitahu, bahwa nanti, Agus dan Ruslan, tidak akan tinggal di Mes tempat para kuli resmi tinggal, Agus dan Ruslan, hanya tahu, bahwa ada rumah yg siap menampung mereka, selama mereka bekerja di tempat ini.

"gratislah" kata Koco, "wes kere mosok jek dijaluki duwik, wes santai ae" (gratislah, masa kalian sudah susah, masih dimintai duit untuk tinggal, santai saja)

Ruslan hanya menatap Agus, bila ada yg gak beres dari suatu pekerjaan, adalah sesuatu yg berbau "gratis"

Agus nyengir, buang air saja bayar, ini, tinggal di rumah orang masa gratis. kalau gak rumah setan, ya rumah orang gak waras. tapi dilain hal, Koco meyakinkan Agus, bahwa rumah itu gratis karena sudah dibayar setahun penuh, dan pekerja sebelumnya sudah pamit pulang.

"pamit pulang kenapa mas?" tanya Agus.

"gak eroh" (gak tau) kata Koco, "isterine ngelahirno, jarene" (isterinya melahirkan, katanya) Koco mengangkat bahu, tanpa sadar, Bus memasuki daerah yg semakin malam, semakin sepi, sunyi, Agus masih tidak yakin, "sing liane" (yang lainnya?)

"muleh pisan" (pulang juga) "gak kerasan" tutur Koco, dan kemudian, ia berdiri. "wes totok" (sudah sampai)

Ruslan dan Agus, mengangkat tasnya, mengikuti Koco yg sudah melangkah turun, pertama kali melihat Desa itu, Agus hanya melihat sebuah desa biasa saja, tak ada yg aneh

tidak ada yg aneh, kecuali, Koco

Koco menunjuk sesuatu, sebuah jalanan lurus, setelah memasuki desa, Koco mengatakannya

"Omah sing bakal mok nggoni, lurus ae yo, wes ra usah menggak menggok, gampang kok ancer-ancere, yo" (rumah yg nanti akan kalian tinggali, lurus saja ya,

-gak perlu belak-belok, mudah kok posisinya) sahut Koco, sebelum menyalakan sebatang rokok, melipir pergi ke sudut desa lain, Agus dan Ruslan hanya saling menatap bingung, sebelum, bersama, mereka pergi.

Agus menelusuri jalan setapak, gelap, tentu saja. Ruslan mengikuti dibelakang, tidak ada bedanya sama jalanan di desa Agus, hanya saja, mungkin karena tempat asing, suasana itu, membuat mereka merinding. "Koco Asu" umpat Ruslan, Agus setuju.

saat mereka sampai diujung jalan,

Agus dan Ruslan tidak lagi melihat ada jalan setapak, kecuali, rumput setinggi mata kaki, didepannya, ada kebun pohon jati yang menjulang tingg, Agus dan Ruslan melihat disana-sini, tidak ada jalan, lelah bila harus kembali, Agus menembus masuk ke kebun jati seorang diri.

tak beberapa lama, Ruslan mengikuti.

dibawah pohon jati, Agus menahan diri, sejak kecil, ia memang biasa dengan tempat seperti ini, namun Ruslan berhati-hati, pekerjaan yg sempat membuatnya bersemangat tiba-tiba seperti mati rasa, perasaannya tidak enak, tapi selama ada Agus,

Ruslan merasa semua akan baik-baik saja.

baik-baik saja, sebelum, Ruslan melihat tempat tinggal mereka, sebuah rumah yang ada dibalik kebun jati.

Rumah kayu, berdiri sendiri, dengan petromaks yg sudah menyala, pintunya terbuka, Agus, mendekatinya.

"gus, Rumah setan pasti gus" ucap Ruslan,

"iya, rumah siapa lagi yg kaya gini kalau gak rumah setan" Agus menimpali, tapi ia, tetap mendekati, di pintu rumah, tercium aroma makanan,

Ruslan semakin yakin,

sampai, dari dalam, muncul si pemilik rumah

"wes tekan ya, monggo" (sudah datang ya, silahkan)

mata Agus bertemu dengan mata seorang wanita, usianya mungkin lebih tua dari Agus, sosoknya ramah, ia mengangguk saat Agus berdiri di depan pintu, ia melewati Agus, Ruslan melangkah masuk, mengamati makanan yg tersaji di meja

namun, Agus mengatakannya secara tiba-tiba.

"saya mencium lemah layat dari makanan itu"

si wanita menoleh, menatap Agus, ia tersenyum, mengangguk, sebelum pergi, Agus baru tahu, ada Rumah lebih besar, tidak jauh dari tempat ia berdiri..

Agus menutup pintu.

"gak usah dimakan Rus, biarin aja" ucap Agus, ia memandangi rumah besar disebrang dari jendela, Ruslan mendekati. "prosoko gak onok omah iku loh gus mau" (perasaanku tadi, gak ada rumah loh disitu)

"Rumahe demit" kata Agus tertawa, membuat Ruslan kesal

"goblok" sahut Ruslan, "aku eroh awakmu ngelmu, tapi yo ojok ceplas ceplos ngunu, awakmu nantang iku jeneng'e" (aku tahu kamu dulu suka ngilmu, tapi jangan begitu ngomongnya, itu kaya kamu nantangin dia) sahut Ruslan, khawatir

"iya, Rus, paham aku, aku cuma mau lihat reaksinya"

"itu makanannya gimana"

"biarin aja, besok juga udah dimakan ulat" Agus menutup tirai jendela.

"berarti temenan gak beres omah iki" (berarti rumah ini memang gak beres ya)

Agus duduk, sembari melihat makanan didepannya. ia melihat Ruslan yg masih penasaran.

"guk omahe sing gak beres, tapi lemahe iki sing gak beres" (bukan rumahnya yg gak beres, tapi tanah tempat rumah ini berdiri yg tidak beres)

"lemah" (tanah) sahut Ruslan,

"Omah iki ngadek gok ndukure, lemah tapal" (Rumah ini, berdiri diatas tanah Tumbal)

Agus berdiri, ia berkeliling rumah, sebenarnya, daripada rumah, tempat ini lebih terlihat seperti gubuk kayu reot, hanya ada 2 kamar dan satu dapur, selebihnya ruang tamu dan pekarangan, namun, ada rumah yg lebih besar persis didepannya, rumah itu, bukan rumah demit, seperti-

yg Agus katakan, namun, rumah itu adalah rumah manusia. Agus pun mengatakannya pada Ruslan agar ia tidak bertanya lagi, "perempuan tadi, itu Gundik'colo"

Ruslan kaget bukan main saat mendengarnya. "masa, masih ada perempuan seperti itu"

"iya" agus mengangguk, "kelihatan"

"dari aroma dan cara dia berjalan kelihatan sekali dia Gundik'colo"

Ruslan geleng kepala,

"serem juga ini tempat, pergi gak kita ini" sahut Ruslan,

"gak usah, yang penting, hati-hati aja sama tuh perempuan" batin Agus, matanya melihat sudut dapur,

"lihat apa"

"Pocongan"

"matamu" kata Ruslan,

Agus hanya geleng-geleng kepala,

"ada berapa?"

Agus menatap Ruslan, "masih 7 sih Rus, kayaknya nanti malam keluar semua" Agus pun menutup pintu dapur, "biarin lah" Agus melipir ke kamar, diikuti Ruslan, "Asu" umpatnya berkali-kali

Malam itu, masih awal dari segalanya. manakala Agus sudah terlelap dalam tidurnya, Ruslan mengintip dari jendela kamarnya, disana, jauh ditempat rumah tempat perempuan itu tinggal, ia tengah berdiri tepat di jendelanya, tengah menatap tempat Ruslan mengintip.

"Asu koen Gus, gara2 lambemu, aku gak isok turu" (Anj*ng kamu gus, gara2 mulutmu, semalam gak tidur aku) sahut Ruslan mengejar Agus yg sudah menyampirkan tasnya, bersiap menemui Koco yg sudah menunggu diluar rumah, beberapa kali Agus melirik Ruslan, senyumannya mengembang

"sing ngongkon awakmu gak turu iku sopo" (yg nyuruh kamu gak tidur itu siapa) sahut Agus, cengengesan, sampai didepan, Agus membuka kain yg ia gunakan untuk menutupi makanan, ketika kain dibuka, Ruslan melompat, melihat makanan semalam, dipenuhi belatung yg memakan saripatih

bau busuk langsung menusuk hidung Agus dan Ruslan.

"bosok" (busuk) ucap Agus, "ayo wes, kawanen" (yasudahlah, kesiangan kita)

Agus dan Ruslan melangkah keluar, tepat di depan rumah, tiba-tiba, mereka berhadapan dengan perempuan itu, ia menunduk, mengucap "monggo"

Agus ikut menunduk, kemudian, melewatinya.

Ruslan yang sedari tadi memperhatikan, melihat gelagat mata perempuan itu yg mengikuti sosok Agus yg terus berjalan cepat, di sudut bibirnya, perempuan itu tersenyum, namun, Agus tidak tahu akan hal itu.

"he, gus, wong iku mau ngguyu loh ndelok awakmu, gak wedi ta" (gus, orang tadi senyum loh lihat kamu, gak takut)

"tresno paling ambek aku" (suka kali sama aku) sahut Agus, tertawa-tawa

"gak wedi di senengi ambek ngunu iku" (gak takut kamu di sukai yg seperti itu)

"gak, iku ngunu jek menungso kok" (gak lah, bagaimanapun, dia masih manusia kok)

lama mereka berjalan di bawah kebun pohon jati, sampailah mereka di jalanan setapak, menuruni jalan utama, sebelum melihat Koco dan semua teman-temannya, Agus dan Ruslan bertegur sapa

sebelum memulai pekerjaannya.

Ruslan masih kepikiran ucapan Agus semalam, semuanya berputar dalam kepalanya, mulai dari tanah layat, pocong sampai Gundik'colo, semua itu, tidak asing baginya, kecuali, masih ada perempuan seperti itu di jaman seperti ini.

seujujurnya, ia takut sekali, namun Agus, aneh

hari mulai petang, Agus dan Ruslan kembali, manakala ia mau melewati jalan ke pohon jati, kebetulan, mereka berpapasan dengan seorang lelaki tua pencari rumput, lelaki itu, melihat Agus dan Ruslan bergantian.

"kalian yg tinggal di rumah Lastri"

"iya" kata Agus,

"kalian sudah tahu, ada apa disana" ucap lelaki tua itu lagi, ia kali ini hanya melihat Agus,

"iya bapak, saya tahu" sahut Agus,

"yowes" katanya, "jangan sembrono yo le" si lelaki tua pergi, melewati Agus,

dari jauh, siluet hitam perempuan itu terlihat di ujung jalan

Ruslan yg pertama melihatnya, manakala saat Agus melihatnya, perempuan itu berjalan pergi, Agus dan Ruslan hanya berpandangan, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah.

"aneh gak seh" (aneh gak sih) kata Ruslan, "wong iku koyok golek molo" (perempuan itu kaya cari masalah sama kita)

Agus hanya mendengar Ruslan bicara, saat sampai di tanah terbuka, Agus melirik rumah besar itu, meski sama-sama terbuat dari kayu, namun, kesan ngeri saat melihatnya tidak dapat dikesampingkan, hal yg sama, seakan setiap hari, rumah itu menunjukkan tajinya kepada Agus

Agus membuka pintu, ia tidak lagi melihat makanan diatas meja, semua sudah di bersihkan

"aku adus dilek yo" (aku mandi dulu ya) kata Agus, ia menuju dapur, dibelakangnya ada pintu lagi, disana ada sumur tua, Ruslan, memilih merokok di teras, rokok yg ia rampas dari Koco

manakala ketika Ruslan menikmati kepulan asap rokok di teras rumah, Ruslan melihat sesuatu mengintip dari balik kebun pohon Jati

Ruslan mendelik, ia tidak salah lagi, yg mengintip itu pocong,

"Jancok!!" ucap Ruslan, melipir masuk ke rumah, menuju tempat Agus mandi

kebetulan, Agus baru selesai, ia melihat Ruslan, rokok dimulutnya mengepul tanpa ia sentuh

"pocongan ya" kata Agus, sembari mengeringkan rambutnya "itu di kamar mandi ada dua"

Ruslan mengikuti Agus, "pindah ae loh Gus, gak sreg aku nang kene" (pindah aja yuk, gak tenang aku)

saat itulah, Agus mengintip Rumah besar itu dari jendela, matanya seperti tengah mengawasi,

"gini, Rus" kata Agus serius, ia tidak pernah seserius ini, "Tanah tapal biasanya dipakai oleh orang kaya atau gak orang berpengaruh, sekarang pikir, kira-kira ada apa ya di rumah itu"

"ya mungkin dulunya tanah ini tanah tapal, tapi belum di bersihkan, ya kali, dikira aku gak tau, ngebersihan tanah kaya gini sih gak sembarangan dan jarang orang mau, bahkan orang ngilmu kaya kamu, gak bakal mau bersihin kan" kata Ruslan, ia masih melihat Agus yg masih mengawasi

"tau aku maksudmu Rus" kata Agus, sekarang ia duduk, "gunanya perempuan itu apa coba" "udah di tanah tumbal, eh di jaga sama Gundik'colo lagi, aku penasaran, yg punya siapa ya, aku jadi pengen tahu" Agus mengedipkan mata melihat Ruslan, saat itu Ruslan menyadarinya..

"Cok" kata Ruslan yg baru sadar arah pembicaraan Agus, "koen kate nyolong opo sing gok jeroh omah iku ya" (kamu mau mencuri sesuatu yg ada di dalam rumah itu kan) "Gila kau, itu perempuan gak sembarangan ya, cari mati kamu" Ruslan tak sanggup bicara lagi,

"bukan aku, kita"

"Matamu gus" "awakmu dewe ae, pantes, ket pertama wes disuguhi barang gak bener ambek sing nduwe omah" (Matamu, kamu aja, pantas, dari awal, sudah dikasih sesuatu yg gak masuk akal sama yg punya rumah)

"Halah" Agus tertawa, "gak lah, aku yo gak gendeng" (aku juga gak segila itu)

"aku itu cuma penasaran aja, kerjaan itu perempuan jagain apa, atau gak, ngapain dia, kalau pocongan yg dibelakang kamu kan, cuma bisa ngelihatin kita, gak bakalan ngapa-ngapain, nah, masalahnya tuh perempuan juga ngawasi kita, pasti ada sesuatu" sahut Agus,

Ruslan, diam.

"Gus boleh tanya" Ruslan mencoba untuk tenang, Agus mengangguk, "kata orang, tanah tumbal kalau dijaga pocong, tanahnya, ditanami kain kafan dari orang yg meninggal, itu betul?"

Agus mengangguk,

"dan kain kafan yg meninggal'pun gak sembarangan, harus jumat kliwon, betul?"

Agus mengangguk lagi,

"berarti, berapa banyak, kain kafan yg ditanam di dalam tanah ini?" Ruslan menunggu Agus bicara

Agus tampak berpikir, "seratus kayanya"

Ruslan menelan ludah, "ada seratus pocong disini gus"

"iya" kata Agus, "di luar, masih banyak yg berdiri lihatin kita"

Ruslan berdiri, ia menyesap rokok, tinggal 2 batang lagi, saat Agus meminta sebatang, Ruslan menolak, "Matamu, aku yo penasaran dadine, opo yo sing onok gok jeroh omah iku" (Matamu, aku kok jadi penasaran juga, apa ya yg disembunyikan disana)

"mau lihat gak" sahut Agus,

"oke"

Agus membuka pintu, diikuti Ruslan, "Loh loh, kok sak iki, gak engkok rodok bengi tah" (Loh loh, kok sakarang, gak nanti lebih malam tah)

Agus tetap berjalan, Ruslan kebingungan, mereka sampai di depan pintu, Agus mengetuknya, dan perempuan itu muncul, melihat Agus dan Ruslan

"daripada saya penasaran, saya mau tanya sama anda, anda ini jaga apa sebenarnya?" kata Agus, Ruslan hanya melongo melihat kawan baiknya yg sudah hilang otak,

perempuan itu tersenyum, mengangguk, lalu berujar lirih, "mongg mas," (silahkan masuk mas)

Agus, melangkah masuk

Ruslan mengikuti dibelakang, ia melihat perempuan itu yg masih menunduk, memberi hormat pada mereka, setelah Agus dan Ruslan duduk, ia menutup pintu, menguncinya

"saya kebelakang dulu untuk mengambil makanan, terima kasih, saya tidak perlu melakukan hal buruk pada anda"

"Goblok" ucap Ruslan, "kamu gak bilang maksudnya lihat itu begini, aku kira nanti malam kita sembunyi buat lihat sendiri"

Agus hanya diam, ia tidak menggubris mulut Ruslan, tiba-tiba, perempuan itu muncul, "mas Agus benar, bila kalian datang sembunyi2, kalian bisa celaka!!"

"mbaknya tahu namanya Agus darimana?" tanya Ruslan,

"saya pun tahu, nama anda Ruslan" perempuan itu meletakkan dua gelas kopi, tangannya begitu telaten, termasuk saat menghidangkan jajanan pasar itu, Ruslan tidak lagi bicara, ia fokus pada ekspresi perempuan itu yg datar.

"saya sudah sering melihat petaka dimulai dari ketidaktahuan dan rasa penasaran, sejujurnya, hal itu memang bersifat lumrah dan dimiliki oleh setiap manusia, termasuk anda, jadi, apakah semua sudah jelas mas Agus"

Aagus hanya diam, keningnya berkeringat, Ruslan baru menyadarinya

Agus tidak banyak bicara, ia meraih segelas kopi, menyesapnya perlahan, kemudian melirik Ruslan, "kopinya aman Rus, diminum saja"

Ruslan pun merasa canggung, ia tidak mengerti, perempuan itu duduk, dan tidak memandang mereka, matanya kosong melihat tempat lain

dengan perlahan, perempuan itu menengok pada Agus dan Ruslan, "kalian masih ingin tahu ada apa disini?"
Agus dan Ruslan diam saja, tidak ada pembicaraan lagi, saat Agus kemudian mengatakannya, "terimakasih suguhannya, saya pamit mbak Lastri" Agus berdiri, perempuan itu mengangguk

Ruslan merasa aneh, ia tahu, Agus tiba2 berubah semenjak ia melewati pintu, seperti ada sesuatu yg tidak dapat ia katakan, manakala mbak Lastri sudah membuka pintu, Agus dan Ruslan melangkah pergi, ketika tiba-tiba, Ruslan tercekat, di luar rumah mbak Lastri, berjejer pocong

Agus dan Ruslan bergegas pergi, ia mencium aroma busuk yg membuat Ruslan menutup hidung, meski Agus berjalan biasa saja, ia seperti melamun, matanya kosong, Ruslan segera menutup pintu, ia melihat pocong-pocong itu menatap rumahnya, disana, perempuan itu masih berdiri di pintu

"ada apa gus sebenarnya?" tanya Ruslan, Agus hanya bengong, matanya benar-benar kosong

karena lelah menunggu Agus menjawab, Ruslan memberikan sebatang rokok dimulut Agus, beberapa saat kemudian Agus seperti baru sadar, "Cok, minggat yok" (pergi yuk)

Ruslan, heran

Agus masuk ke kamar, memasukkan semua bajunya ke tas secara serampangan, Ruslan yg masih kebingungan lantas, mendorong Agus bertanya dengan kesal "Onok apa sakjane" (ada apa sih sebenarnya) "koen mau loh gak ngene, opo gara2 kopi mau" (kamu tadi loh gak papa, apa karena kopi)

Agus menggeleng, "kopinya gak papa Rus, tapi" Agus menelan ludah, seperti lidahnya keluh,

"kamu sih bodoh, ngapain nyamperin ke rumahnya, jadi gini kan sekarang" Ruslan menatap Agus kesal, "itu pocong pasti sengaja biar aku lihat kan, sialan si Lastri"

"aku kasih tahu ya Rus" kata Agus, "ini adalah tanah tumbal, kamu dengar sendiri kan, gimana ucapannya kalau kita sembunyi2 cari tahu, dia ngancam itu sebenarnya, satu yg harus kamu ingat dalam kepalamu, kalau kamu niat buruk ke tanah tumbal, nasibmu bisa tragis"

"jadi karena itu, kamu datangin dia langsung" tanya Ruslan,

"iya, buat minta ijin, kalau dia ngasih tahu"

"trus, dia sudah ngasih tahu apa yg dia lakukan" Ruslan melihat gelagat Agus berubah, Agus membelakangi Ruslan, "dia perempuan yg gila rus, aku, mencium aroma darah disana"

"darah apaan?" "darah pocong kali yg kita lihat tadi" sahut Ruslan

"gak gak gak!!" sahut Agus"aku pernah cium aroma kaya gini, ini bukan darah karena luka, ini darah, apa ya" Agus tampak berpikir, "darah yg baunya amis sekali, darah perjanjian" Agus langsung sadar, "perjanjian"

"tumbal maksudmu, pocong tadi" Ruslan masih bingung,

"goblok kamu ya Rus," "Tumbal itu gak harus manusia" kata Agus mulai kacau, "tanah Tumbal, itu maksudku, tanah ini di tanami bermacam-macam tumbal, ada kain pocong, rambut yg punya rumah pun bisa jadi tumbal, tumbal binatang"

"orang dulu, terutama mereka yg punya nama, menggunakan bermacam-macam tumbal, agar tidak ada yg punya niat buruk bisa mencelakainya, tumbal pocong untuk menakut-nakuti saja, sama halnya dengan tumbal rambut si pemilik rumah, siapapun yg punya niat buruk, ia akan lihat si-

-pemilik rumah terus menerus, tumbal binatang, bahkan, tumbal rempah-rempah, seperti cabai, bawang merah dan putih, semua itu bisa jadi tumbal, asal, ada mantra perjanjiannya, tumbal manusia jarang digunakan untuk menjaga rumah, tapi, saat aku masuk ke rumah itu,-

"ada sesuatu yg gak beres, sesuatu, yg gak bisa aku lihat, hanya tercium aroma amis darah itu, menyengat sekali, sampai membuatku ketakutan, ini gak biasa, ini, diluar apa yg aku tahu, perempuan ini, dia sesuatu yg sangat hitam, ancuk lah" sahut Agus, ia semakin kacau, tiba-tiba,

terdengar suara pintu di ketok dengan keras,

"Tok!! Tok!! Tok!!"

Agus dan Ruslan, berpandangan satu sama lain.

Agus berjalan keluar kamar, Ruslan memandang dari dalam, ia mengintip, siapa yg mengetuk pintu, saat Agus membuka pintu, Ruslan melihat mbak Lastri, ia membawa piring dengan jajanan pasar, terdengar ia berbicara dengan Agus,

"makanannya tadi belum dimakan mas"

Lastri, melirik..

"tenang saja, makanannya saya beli dari pasar, jadi, gak ada lemah layatnya"

Agus hanya mengangguk, sementara Ruslan masih mengawasi, terjadi percakapan antara Agus dan mbak Lastri, namun, Ruslan tidak bisa mendengarnya,

"saya tunggu jawabannya mas"

mbak Lastri pergi.

Agus meletakkan begitu saja piring itu lantas menatap Ruslan,

"ada apa gus?"

"COK!!" ucap Agus, ia kemudian duduk, dan menutupi wajahnya, tidak ada yg mau ia bicarakan sama Ruslan, namun, Ruslan tahu sesuatu, mereka belum boleh pergi.

Agus benar-benar tidak mau bicara lagi, lantas ia masuk ke kamar lalu tidur, Ruslan pun mengikuti, meski seranjang, Ruslan merasa pasti mbak Lastri mengatakan sesuatu, apa itu, entahlah,

malam kian larut, baru saja Ruslan memejamkan mata, ia mendengar lagi, suara pintu di ketok

Anehnya, suara pintu diketuk tidak terdengar dari pintu depan, melainkan, pintu belakang, Ruslan beranjak dari ranjang, ia ingin membangunkan Agus namun, ia merasa tidak enak,

keluar dari kamar, Ruslan, berjalan menuju pintu belakang, ia terdiam, di depan pintu. ragu utk membuka

semakin lama, ketukan pintu semakin intens, Ruslan akhirnya membuka pintu, saat ia melihat,

seorang anak muda,

anak muda yg usianya masih 20'an, anak itu menatapnya, ekspresinya ketakutan dengan keringat di bajunya,

"mas tolong, mas, ijinkan saya masuk, tolong"

Ruslan, diam

"ngapain malam-malam kamu kesini" tanya Ruslan, si anak lelaki sempat bingung, bibirnya gemetar, namun, kembali dia meminta tolong, dan meminta Ruslan mengijinkannya masuk,

"sopo Rus?" (siapa Rus?) tanya Agus tiba-tiba muncul, ia menatap anak muda itu, ekspresi wajahnya berubah

Agus mendekat dengan cepat, mencengkram baju anak itu, menariknya masuk, kemudian menutup pintu, wajah Agus terlihat panik

"GOBLOK!! kamu maling di tanah tumbal? cari mati kau!!"

Ruslan baru sadar apa yg terjadi, ia menatap anak lelaki itu yg kini ketakutan, Ruslan ikut panik

belum selesai pembicaraan Agus, tiba-tiba, pintu depan di ketuk,

"tok tok tok"

Ruslan dan Agus, menatap pintu, mereka terhenyak, Agus mendorong masuk anak itu ke kamar, menyembunyikannya di bawah ranjang,

Ruslan membuka pintu, ia melihat mbak Lastri, berdiri dengan parang

wajah mbak Lastri, melotot, dengan senyuman segaris nyaris seperti menahan luapan amarah, di tangannya, mbak Lastri mengenggam parang

"ada apa lagi ya mbak" kata Ruslan, ia melihat gelagat mbak Lastri yg kemudian matanya menyapu isi dalam rumah, meski kakinya belum beranjak

"ndelok Tekos kebon gak" (kamu lihat tikus kebun), mata mbak Lastri masih mencoba melihat-lihat isi rumah, namun, Ruslan menghalangi, wajah mbak Lastri semakin tidak enak untuk dilihat,

"minggir, ben tak pedote sikile" (minggir, biar ku potong kakinya) sahut mbak Lastri

mbak Lastri mendorong Ruslan, dengan langkah kaki cepat ia menyibak tirai kamar tempat dimana Agus dan Ruslan biasa tidur,

jantung Ruslan rasanya mau copot, terutama, ketika sorot mata mbak Lastri menatap tajam Ruslan setelah ia melihat isi kamar,

"mati aku" batin Ruslan

mbak Lastri berbalik, tapi sebelum melewati Ruslan, ia mengingatkan, "kancamu asline wes eroh, nek iku bakal mati kok, cuma sampekno, ojok jeru-jeru nek melu urusan sing gak dingerteni" (sebenarnya temanmu sudah tahu, dia akan mati kok, cuma sampaikan jangan terlalu ikut campur)

Ruslan mondar-mandir sepanjang malam, jantungnya terus berdegup kencang, tidak ada Agus dan bocah itu dalam kamar, rokok pun habis, kepala Ruslan seperti ditusuk-tusuk, ia gelisah, berjam-jam, Agus dan bocah itu hilang, "kucur" (sensor)(kemana manusia-manusia itu)

pintu terbuka

Agus melangkah masuk, nafasnya tersenggal, badannya bermandikan keringat, ia langsung meneguk air dalam ceret sampai habis sebelum membantingnya

"GOBLOK!!" umpatnya saat melihat Ruslan, "Mati arek iku" (pasti mati anak itu)

Ruslan teringat ucapan mbak Lastri, ada apa sebenarnya

Ruslan mendekati Agus, ucapan mbak Lastri dan Agus nyaris sama persis, namun, hanya dia yg belum memahami situasi, ia tampak berpikir, namun isi kepalanya sudah mentok, dengan pelan, Ruslan mengatakannya kepada Agus,

"maksudmu opo" (maksudmu apa)

Agus, mendelik menatap Ruslan,

"aku bar ngekekno cah iku gok Lastri, ben arek iku isok urip" (aku mau memberikan anak itu kepada Lastri, biar dia bisa hidup), "tapi cah kui, malah mencolot gok jendelo" (tapi anak itu malah melompat lewat jendela), "langsung ae tak kejar, ben uripe jek dowo, kan eman"-

(langsung saja, aku kejar, sayang hidupnya masih panjang)

Ruslan yg mendengarnya langsung bereaksi, "Stress koen Gus, sing onok, cah iku bakal di bacok ambek Lastri" (gila kamu ya, yg ada, anak itu bisa di potong sama Lastri)

"justru iku" "paling derijine tok sing dipedot"

(justru itu, paling hanya jari-jemarinya yg dipotong)

Ruslan, semakin bingung. namun Agus mengerti, Ruslan belum mengerti, lantas, ia mengulangi ucapan yg pernah ia katakan itu lagi, agar, Ruslan ingat.

"jangan membuat masalah, diatas Tanah Tumbal, apalagi, untuk mencuri"

"gimana gimana" kepala Ruslan seperti dibenturkan ke tembok, ucapan Agus terlalu berbelit

lantas, Agus duduk, ia memandang Ruslan, wajahnya tidak bisa dibaca, bahkan oleh Ruslan sekalipun, yg sudah mengenal Agus luar dalam

"nduwe rokok gak?"(punya rokok gak)

"gak" ucap Ruslan

"aku tadi ngejar anak itu, kenceng banget larinya udah kaya kijang, dari situ aku jadi yakin, pasti ada apa-apa sama anak ini" Agus diam "anak ini disuruh oleh orang untuk melakukan sesuatu disini, hal yg paling bangs*t! adalah, anak itu tidak tahu, tanah apa yg ada disini"

"dia ada yg nyuruh" sahut Ruslan, Agus mengangguk,

"anak itu sudah ketahuan, pantas saja, itu pocong sampe ngumpul kaya tadi, ternyata, mereka nungguin anak ini" "masuk ke tanah tumbal, gak bisa seenaknya kaya gitu, harus dapat ijin yg punya, sedangkan, yg punya bukan Lastri"

"lalu, hubungannya Lastri bawa parang apa?!" ucap Ruslan,

"dia mau nolong anak itu, kalau anak itu mau selamat, dia harus minta ijin sama yg punya tanah ini, tapi itu kan gak mungkin, jadi, Lastri akan ambil apa yg harus di ambil dari anak itu, yaitu, jari-tangannya"

"kalau Lastri gak melakukan itu" Ruslan menatap Agus, ia melihat Agus menatap kosong apa yg ada didepannya, lantas ia berdiri, lalu masuk ke kamar

Ruslan langsung sadar, ia teringat dengan maksud kedatangan Lastri tadi, sekarang ia tahu, alasan kenapa mereka belum boleh pergi,

pagi itu, berjalan seperti biasanya.

Agus tidak banyak bicara seperti sebelumnya, ia sudah bersiap menuju tempat kerja, Ruslan hanya mengawasi, ia tidak mau membahas kejadian semalam.

Agus melihat sebungkus nasi di meja "aku yg bungkusin makanan itu subuh tadi gus" kata Ruslan,

setelah mendengar kata Ruslan, Agus baru mau membuka makanan itu, aneh. Agus yg sekarang dilihat Ruslan, seperti bukan Agus yg biasanya

"kenapa tadi diam, takut makanannya dari mbak Lastri, biasanya kan, langsung tau dari aromanya" canda Ruslan, yg tidak ditanggapi sama Agus

seusai Agus makan, mereka bersiap berangkat bersama, Agus masih tidak banyak bicara, namun, seperti tersentak, manakala baru keluar dari pintu, mbak Lastri berdiri di teras rumah, di tangannya, ia tengah memegang gagang sapu.

ia berdiri, tersenyum, menyapa mereka..

"ngeri" batin Ruslan, dilihat darimanapun, wajah mbak Lastri tidak memiliki emosi, matanya besar, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang, dengan rambut disanggul, karismanya, membuat Ruslan sadar, Gundik'colo rupannya memang gila seperti cerita2 yg tersebar..

Ruslan menunduk

baru juga Ruslan melewati mbak Lastri, Agus tiba2 diam berdiri di depan mbak Lastri, Ruslan ikut berhenti, ia menatap mbak Lastri yg memberikan sesuatu kepada Agus, namun, Agus buru-buru memasukkannya kedalam saku, seakan menyembunyikannya dari Ruslan, sorot mata Agus kaget

"dia ngasih apa Gus" tanya Ruslan,
Agus hanya menggeleng, ia tetap berjalan, seakan mengabaikan Ruslan, kesal, Ruslan menarik tangan Agus, memintanya bercerita, terpaksa Agus mengambilnya dari saku celananya, ia, mengeluarkan setangkai bunga kamboja, Ruslan melotot menatap Agus

Koco sudah menunggu bersama yg lainnya, ia membagikan jatah rokok hari ini kepada Agus dan Ruslan, namun, Koco merasa hari ini ada yg berbeda dengan dua kawannya

"onok opo toh iki, raine gak mbois blas" (ada apa sih ini, kok mukanya pada gak enak)

Ruslan melewati Koco "nyocot"

Agus dan yang lainnya segera naik ke mobil pick up yg akan mengantarkan mereka ke tempat kerja, melewati rumah-rumah warga

dari semua orang yg ada disana, hanya Koco yg juga merasa Agus jadi aneh, ia melihat Ruslan, memberi isyarat "kenapa sih Agus" namun Ruslan tidak perduli.

jalan menuju lokasi kerja harus melewati jalan setapak yg hanya cukup dilalui satu mobil, disamping kiri ada perkebunan warga, disamping kanan tebing rumput, dengan sungai beraliran deras,

Ruslan merokok sambil melirik Agus, pikirannya kosong, disenggol beberapa kalipun, Agus-

tidak peduli, tiba-tiba, terdengar ramai orang tengah berkumpul disana, semua orang lantas berdiri di atas mobil pick up, mencari tahu ada apa, termasuk Agus dan Ruslan, mereka melihat warga menuruni tebing,

Koco yg saat itu dekat dengan satu warga yg mendekat langsung bertanya

"onok opo cak" (ada apa pak)

"onok cah mati nang pinggir kali mas" (ada anak kecil meninggal di sungai)

Ruslan menatap Agus, lantas, mereka semua langsung ikut turun untuk melihat.

warga sudah ramai. "anak kecil dia bilang gus" kata Ruslan, "yg semalam kan anak gajah, sudah gak masuk anak-anak itu" bukannya tertawa, Agus justru ikut turun, melewati kerumunan warga, Ruslan yg merasa harus lihat juga terpaksa ikut Agus, ketika Ruslan berhasil, Agus mematung

"cok" Ruslan tertunduk, menyaksikan sosok yg ditarik itu adalah pemuda semala

ia menarik Agus namun, Agus menolak, Koco rupannya dari tadi memperhatikan, ia ikut menarik Agus, dan akhirnya mereka pergi
"aku mau ngomong sesuatu sama kalian" kata Koco, "harus tak sampein kayanya"

baru pertama kali, muka Koco tampak serius, sepanjang perjalanan, Koco tampak seperti mau bicara namun ia menahan semuanya, Ruslan dan Agus apalagi, mereka, sepanjang perjalanan tidak ingin bicara, pikiran mereka berdua, melayang-layang teringat wajah pemuda itu

turun di lokasi kerja, Agus tidak perduli dengan apa yg mau disampaikan Koco, ia memilih untuk mulai mengaduk semen bersama yg lainnya, hanya Ruslan yg mendengar Koco,

"ngene, koyok'e omah sing mok panggoni angker yo" (gini, kayanya, rumah yg kamu tempati itu angker ya)

Ruslan, diam. ia tidak tahu harus menanggapi apa yg baru Koco ucapkan.

"orang yg sebelumnya tinggal disana, itu mereka cerita kalau setiap malam, ada yg suka ngelihatin mereka" Koco tampak berpikir, "pocong sih katanya"

Ruslan masih diam.

"nah, sebelum mereka pergi, satu dari empat orang yg tinggal, dia kaya si Agus begitu, diem aja" ucap Koco

"terus" Koco tampak berpikir, lalu meminta Ruslan mendekat, saat Koco berbisik, Ruslan melotot menatap Koco, "Goblok. wes eroh koyok ngunu, aku ambek Agus ber mok kongokon nang kunu, Edan koen co!!"
(bodoh, sudah tahu kaya gitu, aku sama Agus malah disuruh tinggal disitu, gila!)

"loh aku juga cuma ngikutin peraturan, udah gak ada kamar di mes, rumah itu sudah dibayar setahun penuh" Koco mencoba membela,

"ya tapi, kamu gak bilang kalau ada kejadian begitu, tau tidak, perempuan depan rumah itu, Gundik'colo" sahut Ruslan,

Koco langsung diam.

"jangan ngawur kamu Rus" kata Koco "mana ada perempuan begitu jaman sekarang!! fitnah Rus, fitnah!!"

"Agus yg bilang, kalau kamu gak percaya, tinggal sama aku saja, masih ada satu kamar" kata Ruslan,

"Matamu!! gak mau aku" Koco menolak, "yakin, dia Gundik'colo, sakti dong!!"

"iya. sakti" kata Ruslan, "kalau dia mau, dia bisa gorok lehermu dari rumah"

Koco tidak bicara, ia seperti ingat sesuatu, tapi enggan mengatakannya, "gini Rus, si Agus, awasi dia ya, kalau ada aneh-aneh, bilang sama aku, aku kenalin sama seseorang" kata Koco,

"Asu koen co!!"

semenjak Ruslan tahu sesuatu, setiap ia sampai di rumah, Ruslan mengunci pintu, ia sering melihat ke jendela, matanya mengawasi rumah itu.

"Gus, kapan yg punya ini tanah datang"

"nanti Lastri ngasih tahu" ucap Agus,

"kamu sih nantangin perempuan itu" kata Ruslan,

"Rus, aku mau ngomong, kalau aku pergi, kamu di rumah aja, jangan kemana-mana ya" sahut Agus

"piye gus" tanya Ruslan, saat itu juga, suara pintu diketuk, Ruslan terhenyak sesaat menatap pintu

Agus, berdiri, ia membuka pintu, tepat disana, ada mbak Lastri, Agus menutup pintu

Ruslan hanya bisa diam, ketika Agus melangkah lebih dulu, dibelakang, mbak Lastri menunduk memberi salam pada Ruslan, tepat di tangannya, ia mengenggam pisau kecil yg biasa digunakan untuk memotong ari-ari,

"saya dulu, mas Ruslan" ucap Lastri, ia mengikuti Agus masuk rumah

Ruslan langsung lari, ia menembus kebun Jati, ia harus mencari Koco, menyampaikan apa yg ia lihat, tepat seperti apa yg Koco ceritakan siang tadi,

manakala, Ruslan berlari, ia mencium aroma kentang, sekeliling kebun Jati, dipenuhi pocong

"mas, tolong, bukake tali kulo" (mas, tolong, bukakan tali saya)

satu diantara mereka mendekati Ruslan, ia melayang hanya beberapa senti dari atas tanah, Ruslan gemetar, ia tidak mau melihat muka yg hancur dan berbau kentang itu,

Ruslan, lanjut lari..

syukur, Ruslan tahu dimana biasa anak-anak nongkrong, Koco sedang main kartu, saat Ruslan menceritakan Agus, Koco menelan ludah, ia buru-buru pinjam motor, mengajak Ruslan menemui seseorang,

selama diperjalanan, Ruslan hanya kepikiran dengan sorot mata Lastri, licik,

"Agus iku ngilmu tapi loro" (Agus itu ngilmu tapi sakit) "kalau tahu ada Gundik'colo, ya mending ngalah, gak usah ngelawan gitu to, wong pintar aja pikir-pikir kalau adu ilmu sama yg model begituan" sahut Koco, ia menambah kecepatan motor, menembus rumah warga

sesampainya disana, Koco buru-buru mengetuk pintu, namun, si pemilik rumah sepertinya tidak ada, rumah kayu itu ditutup rapat, Ruslan menatap kesana kemari, kepalanya sakit sekali, Agus seperti dipelet terang-terangan sama mbak Lastri, tapi apa ya bisa, Agus kepelet semudah itu

Koco terus memanggil, namun, tetap tidak ada jawaban, Ruslan yg sudah tidak sabar ikut mengetok pintu, saat, dibelakangnya, terdengar seseorang "cari siapa le" (mencari siapa dek)

Koco dan Ruslan berbalik, ia melihat lelaki tua dengan sak berisikan rumput, menatap mereka

Ruslan ingat dengan lelaki tua itu, ia suka mencari rumput di kebun jati, tapi, bila di ingat lagi, cari rumput kenapa harus malam seperti ini, apalagi, rumput yg dia ambil dari kebun jati tempat Ruslan melihat..

"malam pak" Koco memberi salam, mencium tangannya, Ruslan, diam

Koco menceritakan semuanya, lelaki tua itu hanya berdiri di ambang pintu, ia mengintip ke jendela, "pirang atus pocong iki sing ngejar awakmu le" (ini berapa ratus pocong yg ngejar kamu nak)

Koco ikut melihat jendela namun ia tidak melihat apapun, namun Ruslan, melihatnya..

"kamu pulang saja, teman kamu sudah gak bisa ditolong" sahut lelaki tua itu kepada Ruslan, namun, Koco mencoba bilang, "tapi mbah, yg dulu juga mbah kan yg nolongin"

"beda kasus itu le" kata si lelaki tua, "kalau yg ini, temanmu sejak awal disukai sama cah gendeng iku"

"cah gendeng mbah?" tanya Koco,

"apalagi kalau gak gendeng tuh bocah, aku tau perjalanan hidupnya sampai dia jadi begitu, saya sih bisa kalau adu ilmu, tapi ya, Gundik'colo ini" lelaki tua itu tertawa, ia melempar pocong yg Ruslan lihat dengan tulang ayam, "saya bisa mati"

"lalu bagaimana mbah?" tanya Koco,

"temanmu itu ilmunya juga lumayan, dia pasti ada alasan kenapa mau, kalau dipelet sih, gak yakin aku, pasti ada yg dia sembunyikan" kata si mbah, sekarang, ia melempar apapun kearah pocong diluar rumah, Ruslan bingung, seperti ia sengaja

Koco sudah tidak bicara lagi, namun kemudian, Ruslan mengatakan apa yg seharusnya ia katakan dari tadi,

"mbah bilang tadi tahu perjalanan hidupnya, mbah kenal sama mbak Lastri?"

setelah Ruslan mengatakan itu, lelaki tua itu berhenti bermain sama pocong di depannya, ia diam

"ia saya kenal dia" lelaki tua itu kini duduk, ia menutup pintu setelah meludahi pocong yg mau masuk ke rumah, "guru saya yg membantunya menjadi Gundik'colo seperti sekarang, namun itu semua, atas dasar keinginannya sendiri"

"Lastri, sebenarnya, seusia sama saya"

"kalian ada rokok" sahut lelaki tua itu,

Ruslan memberi tanda pada Koco, Koco langsung tahu maksud Ruslan, ia meraba saku celana, mengeluarkan sebatang rokok, memberikannya pada lelaki tua itu, ia menghisap rokok sebelum mengatakannya

"Lastri bukan yg pertama di kampung ini"

"maksudnya mbah" tanya Ruslan,

"Lastri bukan Gundik'colo pertama di sini, karena, dulu, sudah ada Gundik'colo juga sebelum Lastri"

Koco beringsut mundur, Ruslan apalagi, lehernya meremang, merinding, satu Gundik'colo saja sudah gak waras, ini, malah sudah ada sebelumnya

"lalu, bagaimana akhir Gundik'colo sebelumnya mbah?" tanya Ruslan, Koco hanya bisa menelan ludah, di rumah kayu itu, mendadak, hening, sepi sekali, bahkan, api petromax bergoyang tidak normal, lelaki tua itu tampak berpikir sebelum

"Lastri ada di depan, sebaiknya kalian kembali"

lelaki tua itu berdiri, ia membuka pintu, jauh di sana, mbak Lastri berdiri di teras rumah, matanya kosong melihat kearah pintu, lelaki tua itu menatap Ruslan dan Koco,

"saya tidak bisa membantu banyak, temanmu, dia sudah ada di rumah, masalah ini, coba selesaikan dengannya"

Ruslan melirik ketika ia berpapasan dengan Lastri yg kemudian masuk ke rumah lelaki tua itu, ia mendengar Lastri menggumamkan sebuah nama, "Pornomo", jadi, nama lelaki tua itu adalah Pornomo, untuk apa, Lastri masuk ke rumahnya, apakah ada sesuatu yg mau mereka bicarakan,

"Edan!! aku jek gak percoyo, Gundik'colo jek onok, mese onok 2 pisan nang deso iki, gendeng" (Parah!! aku masih gak percaya, Gundikcolo masih ada, malah ada 2 lagi di desa ini, Gila) kata Koco di atas motor,

Ruslan, hanya berucap "nyocot!!"

Koco diam,

setelah Koco mengantar Ruslan, ia kembali ke rumah itu, melewati kebun jati sendirian, dari jauh, rumah itu sudah bisa dilihat, pintunya terbuka, tepat ketika Ruslan melewati pintu, ia melihat Agus, tengah duduk seperti menunggunya..

"tekan ndi?" (darimana?)

"cari rokok gus"

Agus hanya mengangguk, seakan tidak mau mendebad Ruslan, ia masuk ke kamar, sebelum masuk, Agus mengatakannya, "awakmu turu nang sebelah yo, aku kepingin turu ijen" (kamu nanti tidur di kamar sebelah ya, aku ingin sendirian)

Ruslan tidak menjawab, Agus berbeda,

berjam-jam sudah berlalu, Ruslan masih belum bisa memejamkan matanya, lantas, ia tiba-tiba merasa harus tahu, apa yg ada di dalam rumah itu, apa yg di jaga sampai yg jaga harus perempuan seperti itu,

Ruslan beranjak dari ranjang, lantas, ia berpikir untuk memeriksanya saja,

ia melewati kamar Agus, berjalan pelan-pelan, saat, Ruslan merasa ada yg salah, ia kembali, membuka gorden yg menutupi kamar Agus, disana, Ruslan terhenyak, melihat Agus duduk bersila di atas ranjang, di depannya, darah berceceran,

Agus memuntahkan darah dengan mata terpejam

"he cok koen lapo cok" Ruslan mendekati Agus, menepuk2 pipinya, namun, Agus seperti tidak sadarkan diri,

Ruslan kebingungan, lantas ia buru-buru mengambil segelas air ke dapur, meminumkannya pada Agus, namun, ia terus memuntahkannya, tiba2, terdengar suara Lastri berteriak,

Agus belum juga sadar, namun diluar, pintu depan digedor-gedor dengan keras, suara Lastri berteriak seperti orang tengah marah

Ruslan mendekati pintu,

"BUKAK!!" "BUKAK GOBLOK!!"

Ruslan pun membuka pintu, Lastri langsung masuk, ia berjalan pincang, dengan tangan menyeret parang

Ruslan langsung menyusul Lastri, namun, Lastri keluara dari kamar dengan sendirinya, menyeret Agus, ia menjambak rambutnya yg panjang, Agus masih muntah darah, Ruslan mencoba menahan Lastri, namun, tatapan matanya, membuat Ruslan ngeri sendiri, "Mundur koen!!" (mundur kau!!)

"mbah isok diomongno apik apik mbah, gak usah gowo parang nggih" (mbah bisa dibicarakan baik baik mbah, tidak perlu pakai parang ya) ucap Ruslan,

Lastri berhenti, ia menatap Ruslan, menghunuskan parangnya, "mbah"

"mbak maksud kulo, mbak" (maksud saya mbak)

Lastri menyeret lagi

sampai di pintu rumah, Lastri melemparkan Agus, menyeret kakinya sampai ke perkarangan antara rumah Lastri dan rumah tempat tinggal mereka

Ruslan yg tidak tahu harus apa dengan situasi ini, lari masuk rumah, ia mengambil pisau di dapur, ia kembali, melihat Lastri sudah menghunus

parang yg Lastri pegang, terhunus di leher Agus,

Ruslan sudah gemetar, kalau sampai Agus di gorok, ia akan buat perhitungan, namun, rupannya, Lastri menjambak rambut gondrong Agus, lalu memotongnya dengan parang, Agus terjerembab jatuh ke tanah, ia berhenti muntah darah

Ruslan mendekati Lastri, menatap segumpal rambut yg ia pegang,

"kancamu kandanono, nang kene, ilmune gak onok apa-apane, mene nek wes sadar, gowoen nang mbah Pornomo"
(temanmu kasih tahu, disini, ilmunya gak ada apa2 nya, kalau sudah sadar, bawa dia ke mbah Pornomo)

Ruslan mengangguk, "nggih mbah" sahutnya, "eh, nggih mbak" Ruslan mengkoreksi ucapannya, kini ia menatap rambut yg masih ada ditangan Lastri, ia pergi, menjauh dengan kaki pincang,

Ruslan menggendong Agus kembali ke rumah. entah apa yg terjadi, Ruslan masih tidak mengerti

ditemani Koco, Agus dibawa ke rumah lelaki tua itu, ia sudah sadar, namun, ia seperti orang ling lung, wajahnya pucat, bahkan, Rusalan sudah mengajaknya bicara sejak tadi pagi namun, Agus hanya diam

mbah Pornomo hanya duduk memandangnya, ia menunjukkan kain kafan putih,

mbah Por, membuka kain kafan putih itu, didalamnya, ada segumpal rambut, Ruslan langsung tahu, itu adalah rambut Agus,

"nekat!!" ucap mbah Por, tanpa mengatakan apa2 lagi, mbah Por langsung menghantam kepala Agus, sebelum menekan hidungnya, tiba-tiba darah hitam keluar darisana,

mbah Por langsung menyesap hidung Agus, Ruslan dan Koco hanya bisa melihat kejadian itu, mereka tidak mau berkomentar, setelah selesai, mbah Por mengambil batok kelapa, memuntahkan isi mulutnya,

disana, ditengah-tengah genangan darah hitam kental, ada segumpal daging busuk

mbah Por membuang ludah sebelum membersihkan mulutnya dengan sapu tangan, ia meletakkan rambut hitam dan kain kafan di batok kelapa, membakarnya, dan tercium aroma yg wangi,

wangi sekali sampai Ruslan dan Koco bingung,

mbah Por kemudian meminumkan air putih, Agus sadar,

"piye" tanya mbah Por, "wes ngerti sopo sing nduwe lemah kui" (kamu sudah tahu siapa yg punya tanah itu)

Agus hanya diam, keringatnya mengalir deras, bibirnya gemetar,

"sudah lihat juga, Gundik'colo yg lain?" mbah Por masih bertanya,

Agus mengangguk

mbah Por berdiri, ia diam, kemudian mendekati Agus lagi, "boleh aku melihat apa yg kamu lihat"

Agus mengangguk

Ruslan dan Koco masih diam, ia melihat mbah Por, mencium tangan Agus seakan ia meminta restu, suasana menjadi hening, sangat hening sekali, Ruslan dan Koco, merinding

seperti tersedak, mbah Por melompat mundur, dibibirnya keluar darah, ia merangkak, seolah mau memuntahkan sesuatu, Agus dan yang lain sontak menolong mbah Por, memijat lehernya

mbah Por terus memukul dadanya, dan keluarlah gumpalan daging yg sama, daging colo' berlumurkan darah

"artine opo toh mbah?" tanya Ruslan,

"sing nduwe lemah, kate teko, njupuk opo sing kudu di jupuk" (yang punya tanah mau datang, mengambil apa yg harus dia ambil)

"nopo niku mbah?" (apa itu mbah)

mbah Por tampak berpikir, "Lastri"

"co" kata mbah Pur, "awakmu eroh omahe pak RT, budalo mrono, ngomong'o, Balasedo'ne teko" (kamu tahu rumah pak RT kan, bilang sama dia, Balaseda' mau datang)

Ruslan melihat wajah mbah Por, ia tidak pernah segelisah ini, sedari tadi, mbah Por hanya mengelus janggutnya

mbah Por melihat keluar rumah, lalu menutup pintu rumahnya, "melok aku" (ikut saya)

Ruslan dan Agus berdiri, ia berjalan di belakang mbah Por yang melangkah masuk ke salah satu kamar,

di kamar itu, Ruslan banyak melihat benda2 yg tidak asing lagi, bawang putih di pasak,

cabai di ikat dengan benang, sampai kembang bertebaran di meja, mbah Por langsung mempersilahkan mereka duduk, saat mereka duduk, tiba-tiba mbah Por memukul-mukul kepalanya, seperti orang kebingungan, bahkan, ia menghantam rahangnya, dan secara tiba2, menarik paksa giginya..

entah gigi mana yg ia ambil, namun, Ruslan dan Agus merasa ngilu melihat itu di depannya, darah masih mengalir dari bibir mbah Por, namun, bukannya merasa kesakitan, mbah Por seperti tertawa terbahak-bahak melihat giginya tanggal

"Edan"bisik Ruslan, yg ditanggapi agus, ia setuju

berpikir bahwa semua itu selesai, adalah kesalahan besar, mbah Por lagi-lagi, menekan gigi bawah yg berada tepat di tengah dengan kedua tangannya, matanya tengah menatap Ruslan, dengan nafas tersenggal-senggal, mbah Por menarik paksa, hingga darah mengalir deras dari bibirnya..

menyaksikan hal gila seperti itu, membuat Agus dan Ruslan tidak tahan, ia mendekati mbah Por, namun, mbah Por tak menghiraukan mereka, ia seperti orang yg sudah kesetanan, dan benar saja, giginya berjatuhan dengan luka robek yg membuat Ruslan memalingkan wajah,

mbah Por tertawa

dengan serampangan, mbah Por mengumpulkan gigi yg berjatuhan itu, membungkusnya dengan daun pepaya di atas meja, cipratan darah masih dapat dilihat oleh Ruslan dan Agus, entah apa yg mau ia lakukan, Ruslan tidak mengerti, karena setelahnya, mbah Por menelan daun pepaya itu bulat2

"ben, nek ajor mesisan ajor" (biar saja, hancur sekalian hancur)

Agus dan Ruslan tidak mengerti maksud ucapannya, karena setelahnya, mbah Por mengambil sebilah keris yg di gantung di atas tembok kayu, menyampirkannya di pinggul, sebelum pergi, mbah Por berpesan-

agar mereka tetap di rumah ini.

"tengah malam saya kembali, saat itu juga, kalian akan saya bawa masuk ke rumah Lastri, agar kalian bisa tahu apa yg ada di dalam sana, dan" mbah Por tampak memandang Agus, "dia datang malam ini nak"

Agus pucat, Ruslan bisa melihatnya

"onok opo seh asline gus" "bar koen ambek aku wes duluran mbok diceritani, asline opo sing mok wedeni" (ada apa sih sebenarnya gus, kamu sama aku udah saudaraan harusnya kamu cerita sebenarnya apa yg bikin kamu takut)

"nang jero omah iku Rus, onok, onok" (di dalam rumah itu ada)

Agus seperti tidak bisa mengatakannya,

"jancok onok opo seh?" (sialan ada apa sih sebenarnya)

"nang jero omah iku onok" (di dalam rumah itu ada)

"Ranggon"

Ruslan yg mendengarnya hanya melotot pada Agus, "taek!!" (Tai) kata Ruslan, "pantes ae sing jogo model ngunu"

"Lastri sing ndudui awakmu opo piye" (Lastri yg ngasih tahu kamu apa gimana) "modelan Ranggon, gak bakal di duduno ambek sing jogo, nyowo gus, taruhane, opo awakmu ndang sing" (model barang seperti itu tidak boleh di perlihatkan sama yg jaga, nyawa itu Gus taruhanya, apa jangan2)

"aku gak sengojo ndelok Rus" (aku gak sengaja lihat Rus)

Ruslan hanya duduk pasrah, matanya melihat keatas, "kadang aku mikir, awakmu iku pinter wes tak anggep masku dewe, eh, kadang koen goblok tenan koyok wergol, asu!!" (kadang aku mikir kamu itu pinter, sampai tak anggap-

abang sendiri, tapi kadang kamu bodohnya gak ketulungan, mirip Wergol, anj*ng!!)

tidak beberapa lama, terdengar suara ketukan keras sekali, selain keras, suara ketukan itu tanpa jedah, membuat Agus dan Ruslan melihat ke pintu.

"sopo iku gus?" (siapa itu gus)

Agus dan Ruslan mendekat, ketukan itu tidak berhenti-henti sebelum, "Rus, iki aku Koco!!"

seketika Ruslan langsung membukanya, "Edan!! suwene mbukake!!" (gila!! lama sekali bukanya) sahut Koco emosi,

"koen mbalik to" (kamu balik ya)

belum Koco cerita, Ruslan dan Agus melihat-

apa yg ada di depan pintu. disana, berdiri pocong tepat di depan rumah, ia melihat Ruslan dan Agus, dengan tenang, agus menutup pintu, perlahan, dan sosok itu tidak terlihat lagi.

Koco tidak tahu, namun Ruslan, merasa ada yg salah sama desa ini. tepatnya, saat ini,

Koco duduk sembari merokok, "heran aku Rus, mari tekan omahe pak RT, gak koro-koro, kabeh wong koyok sepakat nutup omah, gak onok omah mbukak lawang, aku muleh nang Mes ae sampek gak di bukakno ambek arek2" (heran aku Rus, setelah dari rumah pak RT, semua rumah seakan sepakat-

gak ada yg buka pintu, bahkan waktu aku balik ke mes, pintunya gak di buka sama anak-anak, makanya aku kesini)

Agus dan Ruslan tidak menjawab.

"opo onok hubungane ambek iku mau yo" (apa ada hubungannya sama itu ya)

"onok maneh co" (ada lagi gak co) tanya Ruslan,

"rokok" jawab Koco,

"gak goblok, onok maneh ta sing aneh" (gak bodoh, ada lagi yg aneh)

Koco heran, ini pertamakalinya Ruslan menolak rokok dan Agus, malah diem aja,

"ya itu Rus, di depan pintu, aku nemu piring isi bubur, tapi cuma digeletakin aja, gak ada yg makan"

"mas bukak mas" tiba-tiba terdengar suara bersahutan, Ruslan dan Agus pura2 tidak mendengarnya, berbeda dengan Koco, ia lantas berdiri, "ada orang kayanya di luar"

"ojok di buka Co, wes talah lungguh ae" (jangan di buka co, sudah duduk aja)

Koco melihat Agus dan Ruslan heran,

"halah, koen iku, yok opo nek wong sing nasib'e koyo aku mau" (halah, kalian itu, gimana kalau orang yg nasibnya kaya aku tadi)

Koco melewati Agus dan Ruslan, suara-suara itu terdengar semakin lama semakin bising, "Mas bukak mas" "Mas bukak mas"

Ruslan dan Agus hanya berdiri,

tepat saat Koco membuka pintu, ia tidak menemukan siapapun disana, Ruslan dan Agus pun merasa janggal, ia tidak melihat apapun di luar pintu,

Koco merasa heran, lantas menatap dua kawannnya, mereka saling memandang satu sama lain, sebelum, terdengar suara barang jatuh dari atas.

Koco berbalik, ia mendapati karung putih, dengan perlahan Koco mendekat, lantas melihat ke atas genteng, namun, ia tidak menemukan apapun,

Koco menatap karung putih itu, sebelum ia berbalik melihat wajahnya hancur berantakan, tanpa pikir panjang, Koco langsung masuk,

"Asu!!" kata Koco menatap Ruslan dan Agus, "Pocongan gus, pocongan Rus!!"

Agus dan Ruslan melihat Koco, lantas mereka kemudian bicara bersamaan, "rokok'e"

malam itu di lewati tiga orang itu dengan cerita tentang penghuni tanah layat itu, disini, Koco sudah mengerti semuanya

hampir semalam suntuk, Ruslan, Koco dan Agus menghisap rokok, sementara di luar terus terdengar suara itu yang saling bersahutan, "Bukak mas, bukak"

"Jancok, menengo" bentak Ruslan, menggedor2 tembok kayu itu, setelah berteriak, tiba2 hening, suara itu menghilang, Ruslan pucat

pintu terbuka, semua mata langsung memandang ke pintu, bersamaan itu, mbah Por masuk, melihat ke tiga orang yg tengah merokok di ujung ruangan,

baju mbah Por, di penuhi darah, wajahnya muram berantakan, lantas ia menatap Agus, "ayok melok, ndang urusane mari" (ayo ikut)

"agus tok mbah" (cuma Agus mbah) tanya Ruslan, Koco juga merasa harus ikut, lantas kemudian berdiri,

mbah Por menatap Koco dan Ruslan bergantian, "tapi kalau kalian ikut gak papa, tapi nyawa kalian tidak bisa aku jamin ya"

Koco duduk lagi,

Ruslan melangkah, mengikuti Agus dan mbah Por, begitu keluar dari pintu, Ruslan baru sadar, suasana desa ini benar-benar lain, tak seorangpun terlihat di sepanjang jalanan desa, bahkan, binatang pun lenyap semua,

tak ada makhluk apapun yg hidup kecuali mereka, pintu di tutup

"itu darah apa mbah?" tanya Agus,

"halah, awakmu wes eroh iki getih'e opo" (halah, sebenarnya kamu tahu darah apa ini)

Ruslan menatap kesana kemari, ia tidak melihat satupun bentuk mengerikan dari wujud putih terbungkus itu, mbah Por menatap Ruslan, "ra usah wedi"

melewati kebun Jati, mbah Por mendekati rumah Lastri, disana, sudah ramai layaknya pasar malam, hanya saja, yg berdiri hanya makhluk putih terbungkus itu, Ruslan melewatinya, ia tidak mau melihat wajahnya,

begitu sampai di ambang pintu, Agus dan Ruslan melihat mbak Lastri duduk

anehnya, mbak Lastri hanya diam, melamun.

Ruslan dan Agus berhenti tepat di depannya, Lastri hanya duduk dengan kain yg menutupi kakinya.

mbah Por tiba-tiba memanggil, "mrene gus, iki kan sing kepingin mok delok iku" (kesini gus, ini kan yg mau kau lihat)

Agus yg pertama masuk ke ruangan itu, sementara Ruslan masih melihat mbak Lastri, ia masih diam, duduk, sendirian di ruang tamu, aneh

Ruslan kemudian mendekat, ia langsung mencium bau amis nanah, dalam batinnya ia mengatakannya, "bau Ranggon" sembari menutupi hidungnya

saat Ruslan melihatnya, tubuhnya menggelinjang, ia tidak menyangka apa yg Agus katakan itu benar

hal seperti ini masih ada,

Ruslan melihat, seseorang tengah terlentang di atas pasak kayu, dengan kulit dipenuhi borok, tubuhnya merah, tepat di bawahnya ada ember penuh darah

darah itu keluar dari anusnya, Ruslan dan Agus saling menatap satu sama lain,

"Ranggon" kata mbah Por, "sudah lama ada disini, kalau belum di ijinkan mati sama yg punya, dia gak bisa mati"

Ruslan membuang muka, ia tidak sanggup melihat darah yg terus keluar dari anusnya

Ruslan mendekatinya perlahan, ia melihat kulitnya benar-benar tidak rata,

"setiap ada borok baru yg muncul, dagingnya harus di iris, karena itulah, di beberapa bagian tubuhnya, kamu bisa lihat tulang belulangnya"

Ruslan masih tidak percaya, ini seperti mendengar dongeng kakek

tiba-tiba Lastri muncul, ia melihat semua orang di kamar, "Padu wes tekan mas" (dia sudah datang mas)

mbah Por tampak tegang, namun, Agus dan Ruslan melihat kaki Lastri, disana, daging di kakinya banyak yg sudah teriris, seketika Agus tahu, siapa Ranggon ini,

"gus sini gus" mbah Por menarik lengan Agus, ia melewati Sri yg hanya bersandar di pintu kamar, Sri mengikuti mbah Por dan Agus, langkah kakinya terseok-seok, Ruslan hanya melotot, ia tidak pernah melihat kaki yang dagingnyaa di iris seperti itu, entah bagaimana rasanya..

Ruslan menatap Ranggon, ia hanya merintih kesakitan, Ruslan sendiri tidak yakin apa manusia di depannya masih hidup dan bila memang hidup, bagaimana rasanya menjadi seonggok daging yg harus terus memuntahkan darah dari seluruh lubang di tubuhnya

mulut, telinga, hidung, dubur

tiba-tiba, terdengar suara Lastri berteriak, Ruslan terkejut, lantas ia bersiap menuju tempat itu, saat, tangannya di cengkram oleh Ranggon, Ruslan merinding, bola matanya seperti mau keluar, ia mau mengatakan sesuatu tapi Ruslan tidak paham

Lastri terus menerus berteriak,